Dewasa ini, setiap pemilihan umum di Indonesia selalu diwarnai aksi dengan tidak memberikan suara atau lebih dikenal golongan putih (golput). Persentase golput pada pemilu semakin meningkat. Padahal, bila ditelisik lebih jauh, perilaku golput ialah suatu gerakan di masa Orde Baru. Gerakan ini dilatarbelakangi atas rezim yang mengekang secara tidak langsung hak untuk memilih secara demokratis oleh warga negara Indonesia.
Di masa itu, apapun yang kita pilih, Soeharto yang selalu memenangkan pemilu. Partai apapun yang kita coba dukung, partai berlambang pohon beringin lah yang akan menang. Serta, berapakali pun Pemilu digelar, bila pemerintahan Soeharto saat itu masih berkuasa, kekuatan ABRI lah yang pasti menguasai negeri ini.
Pada tahun 1971, gerakan golongan putih secara masif pertama kali terjadi. Kala itu, peristiwa gebrakan perubahan bermula, bertujuan agar masyarakat Indonesia saat itu tidak berdiam diri dari zona nyaman yang sebenarnya tak lagi nyaman karena keotoriteran pemerintah. Demokrasi dan ideologi Pancasila yang dijunjung pada masa Orde Baru perlu dipertanyakan.
Aksi Golongan Putih dipelopori oleh Arif Budiman pada Pemilu tahun 1971. Aksi ini menjadi bentuk kegerahan atas ketidakpuasan kepada pemerintah Orde Baru dan Pemilu yang dilaksanakan pada saat itu. Kala itu, jumlah pemilih yang memilih golput mencapai 3,4 persen.
Pada Pemilu yang digelar berikutnya di tahun 1977, terdapat sedikit peningkatan golput menjadi 3,5 persen yang juga menjadi besaran golput pada Pemilu 1982. Lalu, pada Pemilu 1987 angka golput menjadi 3,6 persen dan meningkat menjadi 4,9 persen di tahun 1992 serta pada Pemilu 1997 meningkat menjadi 6,4 persen.