Konsep keadilan dalam ruang lingkup kehidupan berbangsa dan bernegara dalam masyarakat luas memiliki arti dan konsep tersendiri. Keadilan merupakan sebuah asas atau prinsip moral yang fundamental menjadi dasar manusia khususnya warga negara dalam berperilaku serta menjalankan hak dan kewajibannya sebagai warga negara. Prinsip keadilan tersebut sudah semestinya terimpelentasi dalam segala peraturan perundang-undangan yang menjadi dasar hukum khususnya negara hukum yang mengedepankan sumber hukum tertulis.
Belum lama ini Jaksa Agung, Sanitiar Burhanuddin mengeluarkan Peraturan Jaksa (Perja) Nomor 15 Tahun 2020 tentang “Penghentian Penuntutan Berdasarkan Keadilan Restoratif” yang menjelaskan mengenai substansi dan makna dari Keadilan restoratif. Pasal 1 berbunyi “Keadilan Restoratif adalah penyelesaian perkara tindak pidana dengan melibatkan pelaku, Korban, keluarga pelaku/Korban, dan pihak lain yang terkait untuk bersama-sama mencari penyelesaian yang adil dengan menekankan pemulihan kembali pada keadaan semula, dan bukan pembalasan.” Hal tersebut menunjukan bahwa keadilan restoratif merupakan upaya hukum yang dapat ditempuh tanpa harus membawa suatu perkara yang bersangkutan ke ranah pengadilan.
Kadilan restoratif terbentuk dengan latar belakang kasus Nenek Minah yang mencuri biji kakao. Selanjutnya Nenek Minah diproses secara hukum. Masih banyak beberapa kasus yang melatarbelakangi adanya keberadaan keadilan restoratif. Selanjutnya dijelaskan dalam Pasal 2 Perja 15/2020 yang menyebutkan “Penghentian penuntutan berdasarkan keadilan restoratif dilaksanakan dengan berasaskan : keadilan, kepentingan umum, proporsionalitas, pidana sebagai jalan terakhir, dan cepat, sederhana, serta biaya ringan.
Selain dasar penghentan penuntutan sebagaimana dimuat dalam Pasal 2, Pasal 5 menjelaskan alasan serta latar belakang perkara tindak pidana dihentikan berdasarkan keadilan restoratif dengan terpenuhi syarat sebagai berikut yaitu: (a) tersangka baru pertama kali melakukan tindak pidana; (b) tindak pidana hanya diancam dengan pidana denda atau diancam dengan pidana penjara tidak lebih dari 5 (lima) tahun; dan (c) tindak pidana dilakukan dengan nilai barang bukti atau nilai kerugian yang ditimbulkan akibat dari tindak pidana tidak lebih dari Rp2.500.000,00 (dua juta lima ratus ribu rupiah).
Jaksa sebagai aparat penegak hukum memiliki kewenangan dalam Undang-Undang No 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia. Khususnya dimuat dalam Pasal 35 huruf c yang menjelaskan bahwa “Jaksa Agung mempunyai tugas dan wewenang mengesampingkan perkara demi kepentingan umum”. Kejaksaan sebagai aparatur sipil negara dapat mengesampingkan kepentingan perkara demi kepentingan umum yang merujuk kepada kepentingan bersama pada masyarakat luas yang dikenal dengan asas oportunitas. Kewenangan menerapkan asas oportunitas tersebut dimiliki oleh kejaksaan dengan relevansi terkait keadilan restoratif untuk dapat menyelesaikan permasalahan berdasarkan nilai-nilai keadilan yang hidup di masyarakat.