Selain itu hal yang mendukung bahwa pencipta haruslah termasuk subjek hukum ditandakan dengan Pasal 1 angka 3 Undnag-Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta (“UUHC”) yang mengatur bahwa “Pencipta adalah seorang atau beberapa orang yang secara sendirisendiri atau bersama-sama menghasilkan suatu ciptaan yang bersifat khas dan pribadi”.
Meskipun Generative AI mampu menghasilkan suatu ciptaan, tetapi proses menghasilkan ciptaan tersebut masih berdasarkan data input dan kemampuan algoritma. Ini menjadikan kemampuan Generative AI masih belum bisa dianggap sebagai kesadaran pribadi. Sebab, dalam menghasilkan suatu ciptaan, perlu ada niat, emosi, kesadaran pribadi pencipta, dan penilaian estetika, dimana hal-hal tersebut tidak dapat dimiliki oleh Generative AI.
Berpedoman pada UUHC, karya-karya yang dihasilkan Generative AI tidak melibatkan campur tangan manusia dalam proses penciptaan karya tidak akan diberikan perlindungan hak cipta. Untuk menentukan validitasnya, dilakukan penilaian melalui serangkaian tahapan, termasuk mengidentifikasi jenis karya, mengevaluasi keterlibatan pemikiran manusia dan ekspresi personalitas dalam karya, serta memeriksa keaslian karya tersebut.
Dari realitas dan banyaknya pro dan kontra AI terhadap esensi kekayaan intelektual, tentu diperlukan reformulasi hukum terhadap UU No. 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta, dengan memperhatikan perkembangan peraturan hak cipta di negara lain yang telah beradaptasi dengan perkembangan AI. Hal ini dalam rangka mengantisipasi perkembangan AI ke depan untuk menciptakan keseimbangan antara kepentingan Pencipta/Pemegang Hak Cipta dan pengembangan AI. Antisipasi ini bertujuan agar dapat memberikan manfaat yang sebesar-besarnya untuk kesejahteraan umat manusia.