Kriminalisasi perbuatan suap terhadap pejabat publik asing juga dimandatkan oleh Konvensi Anti-Suap OECD (secara resmi disebut sebagai OECD Convention on Combating Bribery of Foreign Public Officials in International Business Transactions). Konvensi ini mengikat secara hukum yang memandatkan kriminalisasi perbuatan suap terhadap pejabat publik asing dalam transaksi bisnis internasional.
Konvensi ini diadopsi oleh 44 negara, yaitu semua negara anggota OECD ditambah 8 negara non-anggota OECD, yang mana 15 negara diantaranya adalah anggota dari G20. Konvensi ini mengharuskan negara-negara anggota untuk mengkriminalkan suap, baik secara langsung ataupun melalui perantara, kepada pejabat publik asing, untuk pejabat itu atau untuk pihak ketiga, untuk memperoleh atau mempertahankan bisnis atau keuntungan tidak patut lainnya dalam menjalankan bisnis internasional. Peraturan perundang-undangan yang cukup dikenal di Indonesia terkait dengan implementasi konvensi ini adalah Foreign Corrupt Practices Act atau lebih dikenal dengan ‘FCPA’.
Amerika Serikat (AS) telah terlebih dahulu mengkriminalisasi suap terhadap pejabat publik asing melalui FCPA yang dibuat pada tahun 1977 dengan tujuan untuk melarang orang dan/atau badan hukum untuk memberikan suap baik secara langsung atau tidak langsung kepada pejabat pemerintah asing untuk membantu memperoleh atau mempertahankan bisnis. Yurisdiksi FCPA ini sangat luas, bahkan mampu menjangkau wilayah negara lain dan warga negara lain.
Cakupan undang-undang ini tidak hanya terbatas asas pada asas nasionalitas dan territorial Amerika Serikat. Yurisdiksi, US FCPA ini mencakup, terlepas dari apakah perbuatan suap tersebut dilakukan di dalam atau di luar negeri; Pertama, warga negara AS, penduduk AS, dan perusahaan AS; Kedua, perusahaan AS dan non-AS yang terdaftar yang terdaftar di bursa AS dan yang memiliki kewajiban pelaporan berkala kepada United States Security Exchange Commission (SEC); Ketiga, agen, karyawan, pejabat, direktur, dan pemegang saham perusahaan atau penerbit AS, ketika mereka bertindak atas nama perusahaan yang masuk dalam kategori kedua; dan Keempat, orang asing (warga negara dan perusahaan asing) yang melanggar FCPA saat berada di wilayah Amerika Serikat.
Secara historis, Department of Justice Amerika Serikat (US DOJ) telah secara agresif menuntut banyak korporasi dan warga negara lain dan/atau mitra usaha patungan asing karena konspirasi dengan entitas A.S. Sebelum kasus Airbus SE, US DOJ juga telah memproses banyak perusahaan asing karena melanggar FCPA, misalnya:
- Siemens AG, sebuah perusahaan multinasional Jerman, yang dihukum membayar denda pidana sebesar US$450 juta dalam penyelesaian DOJ dan US$ 350 juta berdasarkan perjanjiannya dengan SEC;
- Alstom SA, sebuah perusahaan multinasional Perancis, yang dihukum membayar denda pidana sebesar US$772 juta; dan
- Odebrecht SA (sebuah perusahaan multinasional Brazil), yang dihukum membayar Merujuk pada hal-hal tersebut di atas, kita kadang salah paham bahwa memperbanyak kriminalisasi kepada warga negara sendiri ketika berhadapan dengan relasi bisnis asing dianggapnya kita tidak melindungi bangsa sendiri, bahkan kita beranggapan kriminalisasi tersebut akan merugikan bangsa kita. Sesat piker ini yang perlu diluruskan, justru kita tidak rela warga negara kita diseret di hadapan hukum negara lain karena kita tidak memiliki instrumen hukum, untuk itu kita perlu mengatur ketentuan tersebut. Negara lain juga akan menghormati daulat hukum kita jika kita telah memiliki dan menegakkan hukum atas perbuatan dimaksud walau merugikan dan terjadi di negara lain.
Namun, dari segi keuntungan ekonomi, fakta bahwa negara maju memiliki banyak perusahaan multinasional yang mengkriminalisasi tindakan menyuap pejabat publik asing dan organisasi internasional mungkin memiliki kepentingan yang berbeda dengan negara-negara kurang berkembang. Ada banyak perusahaan multinasional, karena dalam konteksnya, kriminalisasi suap terhadap pejabat dan organisasi asing diyakini secara langsung dapat mencegah praktik bisnis yang tidak adil dan kompetitif.