Dalam hukum positif Indonesia, penetapan tersangka dalam proses pidana menjadi hal yang sangat penting untuk memastikan tindakan pidana dapat dikenakan sanksi. Ada beberapa hal yang harus diperhatikan dalam penetapan tersangka baik itu unsur-unsurnya hingga syarat penetapannya.
Terlebih, mengingat kasus mahasiswa Universitas Indonesia (UI), Muhammad Hasya Atallah Syaputra (17) yang menjadi korban tabrak lari yang diduga dilakukan oleh pensiunan perwira Polri, AKBP (Purn) Eko Budi Setia Wahono, pada 6 Oktober 2022 lalu. Beberapa hari setelah 100 hari kematian Hasya, polisi menetapkannya sebagai tersangka.
Sebelum mengulas penetapan tersangka kepada almarhum Hasya, perlu diperhatikan syarat penetapan tersangka menurut KUHAP yang kemudian disempurnakan oleh Putusan MK No.21/PUU-XII/2014. Merujuk Pasal 1 angka 14 KUHAP, tersangka salah seorang yang karena perbuatannya atau keadaannya berdasarkan bukti permulaan patut diduga sebagai pelaku tindak pidana.
Berdasarkan Pasal 184 ayat (1) KUHAP, alat bukti yang sah terdiri dari:
1. Keterangan saksi
2. Keterangan ahli
3. Surat
4. Petunjuk
5. Keterangan terdakwa
Berdasar bukti permulaan itulah, seseorang patut diduga sebagai pelaku tindak pidana. Prosedur penyelesaian perkara termasuk penyidikan dan penetapan tersangka, harus dilakukan secara profesional, proporsional, dan transparan. Hal ini agar tidak ada penyalahgunaan wewenang dan pastinya tidak semata-mata tanpa sebab menjadikan seseorang langsung menjadi tersangka.