- Kekerasan seksual di perguruan tinggi
- Muhammad Rif'an Baihaky
- adanya keinginan agar keluarga dan teman tidak mengetahuinya;
- korban tidak mempunyai bukti yang cukup untuk melapor;
- adanya ketidaktahuan cara melapor ke pihak berwajib;
- takut bahwa pelaku menyiapkan pembalasan;
- takut akan sikap bermusuhan dari pihak berwajib;
- adanya ketidakpastian apakah laporannya akan ditanggapi dan dikerjakan serius oleh pihak berwajib.
Sementara itu, menurut penelitian dari Michel Foucault, ada ketimpangan relasi kuasa antara pelaku dan penyintas menjadi salah satu faktor penyebab terjadinya kekerasan seksual.
Kompleksitas permasalahan kekerasan seksual yang terjadi di perguruan tinggi tidak bisa diabaikan dan harus diperbaiki segala kekurangan yang ada. Permendikbud Ristek Nomor 30 Tahun 2021 mengenai PPKS dinilai rinci mengatur langkah-langkah kunci pencegahan dan penanganan kekerasan seksual di perguruan tinggi. Namun, dalam waktu kurang dari dua tahun setelah disahkannya banyak penelitian yang menyatakan bahwa aturan ini tidak bisa mengatur implementasi pelaksanaan dari kasus kekerasan seksual yang terjadi di perguruan tinggi.
Kenyataan, apabila kasus kekerasan seksual terjadi, respon stakeholder kampus untuk menanggapi permasalahan tersebut yaitu melindungi dan menangani serta menindak pelaku. Atau sebaliknya, yaitu menjaga nama baik kampus dengan tidak merespon laporan korban atau kasus sengaja ditutupi agar pihak luar tidak mengetahui, birokrasi rigit dan berbelit-belit, serta melindungi predator kekerasan seksual.
Permasalah di lapangan dan beberapa penelitian menunjukkan bahwa Permendikbudristek PPKS tidak bisa mengatur implementasi pelaksanaan dalam mencegah dan menangani kekerasan seksual di perguruan tinggi. Penulis menyarankan perlunya sistem pencegahan, penanganan, perlindungan dan pemulihan bagi korban, serta penindakan pelaku yang bersistem terpusat (sistem Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual terpusat). Kasus kekerasan seksual seharusnya ditangani langsung oleh pemerintah melalui lembaga khusus dan independen menangani kekerasan seksual.
Sistem terpusat merupakan upaya mencegah, menerima laporan, mendampingi, hingga pemulihan korban sampai bisa beraktivitas dengan normal meskipun trauma korban seperti luka yang tidak bisa mengering. Mekanisme dengan sistem terpusat dalam rangka mengholistikan beberapa lembaga yang berwenang seperti Kepolisian, Kejaksaan, Lembaga Bantuan Hukum (LBH), Lembaga Kesehatan, Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KEMENPPPA), dan Unit Perlindungan Perempuan dan Anak (UPPA). Peran lembaga-lembaga ini yaitu memberikan dukungan kepada korban untuk berani melapor, memberikan bantuan hukum, melindungi korban dan saksi, memberikan layanan konseling, menindak pelaku, dan yang lainnya hingga korban mendapatkan hak-haknya.
Sistem terpusat ini memperbaiki kekurangan dan kesesatan berpikir Permendikbudristek PPKS yang seharusnya tidak memberikan otonom khusus kepada perguruan tinggi untuk menangani kasus kekerasan seksual di perguruan tingginya dengan berbagai macam dalil. Sistem PPKS terpusat ini merupakan upaya meminimalisir ketidakmandirian dan keberpihakan tim satuan tugas serta adanya ketimpangan relasi kuasa. Harapannya, korban berani untuk berbicara dan kepastian hukum akan hak-hak korban terpenuhi.
Kampus yang menjaga nama baiknya yaitu kampus yang terbuka, mengakui, dan bertindak sesuatu untuk mengadili kasus kekerasan seksual. Perguruan tinggi merupakan tempat berproses bagi para calon pemimpin yang seyogyanya dapat mencegah kasus kekerasan seksual. Apabila sudah terjadi kekerasan seksual, upaya untuk menangani dan menindak pelaku adalah suatu keharusan dengan tetap melindungi hak-hak korban dan pemulihan korban adalah hal yang utama.