Tidak adanya institusi yang efisien untuk mendukung partisipasi rakyat dalam pemerintahan merupakan kritik terhadap berfungsinya partai politik di Indonesia. Beberapa penelitian terbaru menunjukkan bahwa demokratisasi yang mendorong lahirnya partai-partai politik baru tidak serta merta menguatkan demokrasi. Sebaliknya, partai politik justru menjadi aktor yang menyuburkan praktik oligarki.
Pada sisi lain, partai berkuasa dan koalisinya ingin tetap mempertahankan hegemoninya sehingga seringkali mendalilkan konsep integralisme. Dengan konsep ini, negara dan rakyat diibaratkan seperti keluarga yang harmonis; negara seperti bapak dan rakyat seperti anak. Ini menjadi salah satu langkah untuk mengunci kritisme dan membangun perspepsi tabu bagi rakyat untuk melakukan kritik. Namun demikian, konsep integralisme ini justru dijustifikasi sebagai ciri khas politik Indonesia dengan mempertentangkan demokrasi liberal sebagai konsep Barat yang dijustifikasi tidak cocok dengan Indonesia dan nilai-nilai keindonesiaan. Mereka berlindung pada alasan “kepentingan nasional” dan negara yang “harmonis.”
Dalam konteks saat ini, buruknya kinerja legislasi saat ini juga tidak lepas dari buruknya sistem kepartaiannya. Lembaga legislatif belakangan mengesahkan banyak RUU kontroversial. Meskipun seringkali mendapatkan protes keras dari rakyat, RUU demi RUU tetap saja dibahas dan disahkan. Keadaan ini juga menjadi bagian dari kegagalan partai politik yang seharusnya berfungsi mewadahi aspirasi rakyat. Sebaliknya, kritik atas tindakan pemerintah sering dijawab dengan kriminalisasi, yang mengindikasikan semakin terancamnya hak sipil dan politik warga negara yang sebetulnya dijamin oleh undang-undang.
Contohnya, beberapa upaya pemerintah membatasi kebebasan berekspresi dengan alasan stabilitas nasional dan keutuhan NKRI. Upaya kriminalisasi terhadap jurnalis dan aktivis semakin banyak terjadi. Selain itu, upaya peretasan akun sosial media aktivis dan jurnalis yang kritis terhadap pemerintah menjadi realitas yang semakin tidak terhindarkan.
Kompleksitas Pemilu di Indonesia
Di negara-negara pasca-otoriter seperti Indonesia, pemilu menjadi faktor penentu dalam reformasi politik dan apakah pemerintahan demokratis baru akan berhasil. Namun, tampaknya upaya demokratisasi di Indonsia sering diterjemahkan sebatas dengan banyaknya jenis pemilu. Dalam penerapannya, pemilu di Indonesia, baik di tingkat lokal maupun nasional, sering tidak lepas dari jebakan politik uang. Dengan kata lain, pemilu Indonesia menjadi cenderung bermasalah karena adanya transaksi modal. Keadaan ini secara eksplisit menunjukkan masalah serius terhadap kinerja kerja partai politik terhadap pemilu.
Dengan berbagai upaya yang tampak belum efektif untuk menekan politik uang, pada akhirnya keadaan seperti ini justru mengesampingkan partisipasi masyarakat dalam pemerintahan. Sementara itu, upaya untuk mengakomodasi partisipasi warga seringkali dirumuskan melalui pemilu. Namun, pelaksanaan pemilu di Indonesia yang sangat kompleks ini berakar pada permasalahan partisipasi publik, yaitu berkaitan erat sejauh mana kualitas partisipasi publik terhadap demokrasi. Hal ini yang kemudian menjadi pertanyaan besar apakah upaya partisipasi publik dimaknai dengan pelaksanaan pemilu?