Kedaulatan dan yurisdiksi merupakan dua hal saling berkaitan. Ketika suatu negara berdiri, secara langsung negara tersebut akan dilekati oleh kedaulatan. Kedaulatan (sovereignty) diartikan sebagai hak atau wewenang eksklusif yang dimiliki oleh suatu negara, baik dalam dimensi internal, eksternal maupun teritorial.
Namun, melekatnya kedaulatan dalam negara akan memunculkan kembali pertanyaan, sampai sejauh manakah kedaulatan negara tersebut berlaku? Atau, sampai batas manakah kedaulatan tersebut akan berakhir khususnya dalam dimensi teritorial wilayah laut?
Lewat yurisdiksi, hal ini dapat dijelaskan dan dibatasi. Yurisdiksi diartikan sebagai kepunyaan yang telah ditentukan oleh hukum, yang meliputi kedaulatan terhadap individu, benda, dan wilayah yang ada di negara tersebut. Sebagai contoh, Negara A merupakan negara pantai yang secara geografis memiliki garis pantai yang panjang dan memiliki lautan yang cukup luas. Sehingga, Negara A memiliki kedaulatan untuk mengelola sumber daya yang ada di wilayah lautnya.
Pengelolaan tersebut merupakan hal yang diperbolehkan, karena Negara A memiliki yurisdiksi. Laut tersebut merupakan bagian kepunyaan Negara A yang sudah diatur dan mengikuti aturan yang ada dalam hukum laut internasional. Tetapi, Negara A tidak boleh melebihi kawasan yang sudah ditetapkan.
[rml_read_more]
Negara A tidak diperbolehkan untuk mengelola wilayah laut lepas, yang merupakan wilayah milik bersama (res communis) atau menerobos kedaulatan teritorial laut milik negara lain. Dengan demikian, yurisdiksi merupakan konsekuensi logis dari kedaulatan yang dimiliki oleh negara dalam dimensi tertentu.
Dari penjabaran ini, kedaulatan dan yurisdiksi suatu negara tidak hanya membahas dalam dimensi teritorial wilayah daratan, tetapi juga dalam lautan. Dalam perkembangannya, kedaulatan dan yuridiksi negara di laut mengalami proses yang cukup panjang. Mengingat laut merupakan hal yang penting, yaitu sebagai media komunikasi dan sebagai gudang besar sumber daya, baik yang hidup maupun yang tak hidup, dibutuhkan suatu pengaturan.
Pengaturan ini harus jelas dan berlaku secara universal, agar tidak terjadi tindakan sepihak negara-negara tertentu. Lautan dipandang berada di bawah kedaulatan nasional pada abad ke-17, yaitu pada saat bangsa Portugis memproklamirkan sejumlah area laut lepas sebagai bagian dari teritorial mereka. Namun, klaim tersebut memunculkan berbagai respon dari berbagai negara, salah satunya Grotius yang mengemukakan doktrin laut lepas. Menurutnya, lautan sebagai res communis harus bisa diakses oleh semua negara tanpa boleh dikuasai.
Pandangan Grotius ini menjadi dasar dan berlaku untuk sebagian karena sesuai dengan kepentingan negara-negara Eropa Utara, yang menuntut kebebasan laut untuk tujuan eksplorasi dan perluasaan hubungan perdagangan dengan Timur.
Dengan pandangan tersebut, secara tidak langsung sebenarnya pengaturan hukum laut sudah mulai terlihat dan diatur walaupun dalam bentuk sederhana. Hal ini dapat dilihat pada masa abad pertengahan, laut sudah dibedakan menjadi 2, yaitu laut yang berada di bawah kekuasaan/kedaulatan, dan laut yang bebas dari kedaulatan negara manapun.
Kemajuan teknologi di masa yang akan depan dan permasalahan yang akan muncul akan berbagai macam seperti permasalahan posisi geografi negara-negara. Terutana, negara-negara pantai yang sama-sama memiliki landas kontinen kemungkinan landas kontinen antara dua negara atau lebih saling tumpang tindih (overlapping). Oleh karena itu, dibutuhkan pengaturan hukum laut internasional yang lebih jelas dan berlaku universal.
Dengan demikian, kedaulatan wilayah laut suatu negara beserta dengan yurisdiksinya akan jelas. Karena pengaturan pembagian wilayah laut menjadi kebutuhan, dibuatlah berbagai pertemuan negara-negara baik dalam bentuk, koferensi (multilateral), bilateral ataupun tindakan sepihak yang dilakukan oleh suatu negara.
Tindakan-tindakan yang dilakukan tersebut antara lain:
- Konferensi Kodifikasi Hukum Internasional di Den Haag tahun 1930.
- Proklamasi Truman 28 September 1945.
- Konferensi Hukum Laut di Jenewa 24 Februari – 27 April 1958 (United Nations Convention on the Law of the Sea I).
- Konferensi Hukum Laut di Jenewa 17 Maret – 26 April 1960 (United Nations Convention on the Law of the Sea II).
- Konferensi Hukum Laut PBB 1973-1982 (United Nations Convention on the Law of the Sea III).
Pertemuan-pertemuan yang telah terjadi dapat dikatakan sebagai langkah yang sangat mempengaruhi perkembangan hukum internasional. Khususnya dalam pengaturan pembagian wilayah laut yang dilakukan oleh seluruh negara untuk mewujudkan pengaturan yang berlaku secara universal.
Dengan berakhirnya Konferensi Hukum Laut PBB 1973-1982, dan diberlakukan pada 16 November 1994, atau setelah satu tahun setelah negara ke 60 meratifikasi, yaitu Guyana, sudah ada pengaturan yang jelas, bagaimana hak dan kewajiban, bagaimana kedaulatan dan yuridiksi suatu negara dalam wilayah laut. Hal ini dapat dilihat dalam Konvensi Hukum Laut 1982, bahwa hak negara-negara untuk melakukan klaim atas berbagai macam zona maritim sudah diakui dalam pengaturan dan tentunya dengan status hukum yang berbeda-beda, yang dibagi sebagai berikut:
- berada di bawah kedaulatan penuh negara meliputi laut pedalaman, laut teritorial dan selat yang digunakan untuk pelayaran;
- negara mempunyai yurisdiksi khusus dan terbatas yaitu zona tambahan;
- negara mempunyai yuridiksi eksklusif untuk memanfaatkan sumber daya alamnya, yaitu zona ekonomi eksklusif dan landas kontinen;
- berada dibawah suatu pengaturan internasional khusus, yaitu daerah dasar laut samudra dalam, atau lebih dikenal sebagai Kawasan (international sea-bed atau area); dan tidak berada dibawah kedaulatan maupun yurisdiksi negara manapun, yaitu laut lepas.
Dengan demikian, hadirnya Konvensi Hukum Laut 1982 secara langsung memunculkan pengaturan begara dalam wilayah laut yang sertai dengan pembatasan yang jelas dan adil, sehingga sengketa-sengketa wilayah laut dapat dihindari ataupun dapat diselesaikan melalui pengaturan hukum laut yang ada.