Mekanisme perlindungan fisik dan psikis terhadap seorang justice collaborator secara teknis telah diatur dalam Peraturan Bersama, yaitu:
- Perlindungan fisik dan psikis bagi saksi pelaku yang bekerja sama sebagai justice collaborator diajukan oleh aparat penegak hukum sesuai tahap proses penanganan kasusnya (penyidik, penuntut umum atau hakim) kepada LPSK.
- Perlindungan fisik dan psikis bagi saksi pelaku yang bekerjasama justice collaborator diputuskan oleh LPSK berdasarkan rekomendasi dari aparat penegak hukum sesuai tahap penanganannya.
- Apabila rekomendasi aparat penegak hukum untuk memberikan perlindungan diterima oleh LPSK, LPSK wajib memberikan perlindungan yang pelaksanaanya dikoordinasikan dengan aparat penegak hukum serta pihak-pihak terkait.
Penanganan Khusus
Selain diberikan fasilitas berupa perlindungan terhadap fisik dan psikis, dimungkinkan juga diberikan penanganan khusus terhadap justice collaborator sebagaimana ketentuan Pasal 10A ayat (2) UU Nomor 31 tahun 2014 berupa:
- Pemisahan tempat tahanan atau tempat menjalani pidana antara saksi pelaku dengan tersangka, terdakwa, dan/atau narapidana yang diungkap tindak pidananya;
- Pemisahan pemberkasan antara berkas saksi pelaku dengan berkas tersangka dan terdakwa dalam proses penyidikan, dan penuntutan atas tindak pidana yang diuangkapkannya;
- Memberikan kesaksian di depan persidangan tanpa berhadapan langsung dengan terdakwa yang diungkap tindak pidananya.
Perlindungan Hukum
Perlindungan hukum diatur di dalam PP Nomor 71 Tahun 2000 mengenai perlindungan terhadap status hukum. Bentuk perlindungan terhadap status hukum ini secara teknisnya tidak dilanjutkannya terlebih dahulu suatu laporan baik oleh tersangka terhadap saksi pelapor sebelum ada proses hukum terhadap kasus tindak pidana yang telah dilaporkan oleh saksi pelapor itu selesai terlebih dahulu. Proses hukum terhadap tindak pidana yang telah dilaporkan oleh saksi pelapor harus lebih didahulukan daripada tuntutan oleh tersangka terhadap saksi pelapor tindak pidana.
Tetapi, perlindungan terhadap ‘status hukum’ itu dapat juga dibatalkan apabila dari hasil proses penyelidikan dan penyidikan terdapat bukti yang cukup untuk memperkuat dugaan keterlibatan saksi pelapor dalam tindak pidana yang dilaporkan dan disaksikannya tersebut. PP Nomor 71 Tahun 2000 sejalan dengan Pasal 10 ayat (1) dan (2) UU Nomor 31/2014, yang menyebutkan:
- Saksi, korban, saksi pelaku, dan/atau pelapor tidak dapat dituntut secara hukum, baik pidana maupun perdata atas kesaksian dan/atau laporan yang akan, sedang, atau telah diberikannya, kecuali kesaksian atau laporan tersebut diberikan tidak dengan iktikad baik.
- Dalam hal terdapat tuntutan hukum terhadap saksi, korban, saksi pelaku, dan/atau pelapor atas kesaksian dan/atau laporan yang akan, sedang, atau telah diberikan, tuntutan hukum wajib ditunda hingga kasus yang dilaporkan atau diberikan kesaksian telah diputus oleh pengadilan dan memperoleh kekuatan hukum tetap.
Penghargaan
Penghargaan bagi justice collaborator menjadi sangat penting, karena untuk menciptakan iklim kondusif dalam pengungkapan tindak pidana. Bentuk penghargaan layak diberikan kepada justice collaborator sebagai penegasan karena yang bersangkutan telah berjasa bagi dalam upaya penegakan hukum. Pemberian penghargaan bertujuan agar masyarakat lain dapat berani juga membantu mengungkapkan tindak pidana kepada aparat penegak hukum. Perlindungan dalam bentuk penghargaan bagi Justice Collaborator dapat dilihat dalam ketentuan Pasql 10A ayat (3) berupa:
- Keringanan pada saat penjatuhan vonis pidana atau
- Pembebasan bersyarat, remisi tambahan, dan hak narapidana lain sesuai perundang-undangan yang berlaku apabila Saksi Pelaku yang berstatus narapidana.
Penetapan status seseorang sebagai justice collaborator juga diatur dalam SEMA 4 Tahun 2011. SEMA ini lahir karena banyaknya tindak pidana tertentu yang terorganisir, meskipun belum mengatur ketentuan khusus terkait justice collaborator, sehingga tidak ada landasan hukum dalam penerapannya. SEMA ini juga tetap dapat menjadi pedoman bagi hakim dalam menangani kasus tindak pidana tertentu dan terorganisir, seperti korupsi, pencucian uang, perdagangan orang, narkotika dan terorisme. Kejahatan-kejahatan ini sering dilakukan secara sistematis dan terorganisir yang sampai saat ini masih menjadi masalah besar dalam penegakan hukum di Indonesia.
Kesimpulan
Dasar hukum penetapan seseorang sebagai justice collaborator di Indonesia dapat dilihat antara lain dalam KUHAP, UU Nomor 31 Tahun 2014 Tentang Perlindungan Saksi dan Korban, maupun SEMA Nomor 4 Tahun 2011 tentang perlakuan bagi pelapor tindak pidana (whistleblower) dan saksi pelaku yang bekerja sama (Justice Collaborator) dalam tindak pidana tertentu. SEMA ini dapat menjadi pedoman bagi hakim untuk menangani tindak pidana korupsi, pencucian uang, perdagangan orang, narkotika dan terorisme yang dilakukan secara sistematis dan terorganisir.
Kemudian, Peraturan Bersama antara Penegak Hukum dan LPSK tentang Perlindungan Bagi Pelapor, Saksi Pelapor dan Saksi Pelaku yang Bekerjasam, peraturan bersama tersebut bertujuan untuk menyamakan persepsi dan pandangan terhadap pelaksanaan tugas aparat penegak hukum dalam menyelesaikan persoalan tindak pidana khusus yang terorganisir, serta peraturan tersebut dapat menjadi panduan atau pedoman bagi para penegak hukum dalam melakukan kerjasama terhadap perlindungan pelapor, saksi pelapor dan saksi pelaku yang bekerja sama dalam perkara pidana.