Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) memaparkan pada Januari-Oktober 2019 angka kasus kekerasan seksual pada anak di sekolah meningkat. Terdapat 17 kasus kekerasan seksual di lingkungan pendidikan dengan korban 89 anak, terdiri dari 55 perempuan dan 34 laki-laki.
Faktor-faktor tersebut bukan disebabkan dasar atau aturan hukum yang lemah, tetapi ada faktor pendorong kekerasan tersebut terjadi. Beberapa alasan kuat menurut Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan anak, I Gusti Ayu Bintang Darmawati, adalah budaya patriarki yang masih kental. Masih banyak masyarakar beranggapan bahwa anak merupakan ranah rumah tangga yang tidak dapat diikut campuri oleh pihak lain termasuk negara.
Budaya patriarki yang sangat kental membuat pemerintah seringkali tak mengetahui adanya kekerasan yang terjadi pada anak. Ruang lingkup kekerasan yang terjadi pada suatu keluarga sangat sulit untuk diawasi apabila tidak adanya laporan resmi yang berkaitan dengan terjadinya kekerasan pada anak. Menurutnya, keselamatan dan hak anak merupakan tanggung jawab bersama dalam upaya perlindungan anak.
Selain itu, faktor-faktor yang mendorong kekerasan pada anak yang paling kuat adalah permasalahan ekonomi. Tingkat ekonomi pada suatu rumah tangga sangat mempengaruhi sikap dan perilaku keluarganya dalam mendidik anak. Seringkali ekonomi dijadikan alasan kuat terhadap perilaku kekerasan orang tua kepada anaknya.
Dari sekian banyak kasus, implementasi UU Perlindungan Anak masih belum efektif oleh instansi terkait. Koordinasi antara Lembaga Perlindungan Anak (LPA) di masyarakat dan lembaga pemerintah belum berjalan efektif.
Banyak kasus yang diadukan warga ke LPA dan KPA, yang ternyata belum ditanggapi secara tepat oleh pemerintah. Sekalipun pemerintah telah meneken kesepakatan bersama untuk menangani anak yang berhadapan dengan hukum.
Kekerasan terhadap anak bukan hanya dari segi fisik saja melainkan psikis anak juga dan sangat berdampak bagi anak yang akan menjadi trauma seumur hidupnya. Anak yang mendapat kekerasan akan tumbuh menjadi pribadi penuh kecemasan, kurang percaya diri, pesimis, atau sebaliknya menjadi anak penuh dengan pemberontakan, agresif, dan ada kecenderungan berperilaku buruk di masa depan.
Bukti lain menunjukkan bahwa dampak paparan kekerasan pada anak dapat merusak perkembangan otak dan merusak bagian dari sistem saraf pada sepanjang hidupnya. Masyarakat diharapkan dapat mengerti dan memahami hak anak dan juga kewajiban sebagai masyarakat sehingga perlindungan anak dapat terlaksana semaksimal mungkin. Pemerintah juga harus memberikan infrastruktur yang baik, fasilitas, sarana dan prasarana yang memadai, dan dana untuk pembiayaan bantuan, perlindungan hukum bagi anak korban tindak kekerasan.
Daftar Pustaka