Para Koruptor melanggar terdakwa secara sah dan sudah dipastikan bahwa melanggar Pasal 12 huruf A dan Pasal 12 huruf B Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo. Pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP. Hingga pada akhirnya, hakim menjatuhkan vonis kepada Arief dengan 5 tahun penjara dan denda Rp 200 juta, subsider 2 bulan kurungan, dan pencabutan hak politik selama 2 tahun.
Berbagai tindakan korupsi yang dilakukan oleh wakil rakyat tentunya akan membawa dampak yang signifikan bagi negara. Selain itu, tindakan korupsi, terutama yang dilakukan oleh pihak berwenang, tentunya akan mengurangi kepercayaan publik, merusak sistem transparansi, serta menghilangkan rasa tanggung jawab. Maka, jika para pihak yang berwenang melakukan korupsi, dapat dikatakan bahwa mereka tidak memahami dasar-dasar moralitas dan etika dengan baik sehingga tidak dapat berpegangan pada prinsip yang ada dalam menjalankan wewenangnya.
Pada dasarnya, etika memiliki fungsi sebagai teori yang mempelajari tentang perbuatan baik dan buruk. Adapun pada bidang filsafat, teori etika memiliki keterkaitan dengan moralitas. Maka, dalam hal ini tindakan baik dan buruk tersebut mengacu pada sesuatu yang benar dan salah. Seseorang dikatakan melakukan tindakan buruk jika tindakannya salah atau tidak sesuai dengan norma serta peraturan yang berlaku. Maka dalam hal ini kasus tindak pidana korupsi bukanlah hal yang dapat dibenarkan.
Dalam UU No. 31 Tahun 1999 telah dijelaskan bahwa korupsi merupakan tindakan melawan hukum dengan melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara. Korupsi merupakan tindakan yang merugikan negara karena para koruptor melakukan tindakan yang tidak bertanggung jawab, yaitu menyalahgunakan wewenangnya dengan mengambil uang negara.