Kemudian muncul pertanyaan, bagaimana apabila perusahaan tidak kunjung mengembalikan ijazah karyawan sedangkan diketahui bahwa masa kontrak kerja telah selesai?
Apabila mendapat kasus seperti ini, karyawan dapat melaporkan perusahaan ke pihak kepolisian dengan dugaan tindak pidana penggelapan sebagaimana diatur dalam Pasal 374 KUHP dengan ancaman pidana penjara paling lama 5 tahun. Apabila misalnya dalam praktik perjanjian kerja tersebut terdapat adanya paksaan (bedreiging), penipuan (bedrog), khilafan (dwaling) dan penyalahgunaan keadaan (misbruik van omstadigheden), karyawan dapat memintakan pembatalan perjanjian.
Ada beberapa ketentuan yang sebaiknya diatur dalam perjanjian kerja guna memenuhi asas itikad baik. Pertama, perusahaan wajib mengembalikan ijazah saat masa kontrak berakhir. Hal ini untuk menjamin kepastian hukum karyawan agar dapat menuntut haknya atas ijazah yang ditahan perusahaan. Kedua, bentuk jaminan dari perusahaan melanggar perjanjian kerja. Ketiga, pertanggungjawaban perusahaan jika ijazah mengalami kerusakan atau musnah.
Apabila ijazah yang ditahan oleh perusahaan rusak atau hilang, dari sisi hukum pidana tindakan tersebut dapat dijerat dengan Pasal 406 Ayat (1) KUHP dengan memenuhi unsur sengaja dan melawan hukum; menghilangkan barang sesuatu yang seluruhnya atau sebagian milik orang lain, dengan ancaman pidana penjara paling lama 2 tahun 8 bulan atau pidana denda paling banyak Rp. 4.500.000,00.
Sederhananya, penulis berpendapat bahwa tindakan penahanan ijazah yang masih terjadi sampai detik ini tentu sangat berisiko bagi perusahaan apabila ijazah tersebut sampai rusak atau hilang. Bahkan penahan ijazah menurut hemat penulis bukanlah solusi satu-satunya untuk memastikan akan kepastian dan keseriusan karyawan dalam bekerja, karena dengan adanya kontrak kerja saja sudah cukup untuk dapat menjadi alat bukti bagi Perusahaan apabila harus ditempuh melalui proses litigasi di Pengadilan Hubungan Industrial apabila karyawan terbukti mengingkari perjanjian.