Problem klasik soal penahanan ijazah karyawan oleh perusahaan sampai hari ini masih menjadi perdebatan di kalangan pengambil kebijakan hingga karyawan. Situasi ketidakpastian ini disebabkan karena ketiadaan payung hukum yang jelas dalam peraturan perundang-undangan. Akibatnya, karena tidak ada aturan yang melarang selama didasari atas dasar kesepakatan, praktik ini akan dianggap normal tanpa mempertimbangkan implikasinya.
Senapas dengan itu, sebagian pihak berpendapat bahwa penahanan ijazah ini tidak bermasalah selama ada kesepakatan antara kedua belah pihak, yakni antara pekerja dan pemberi kerja. Pendapat tersebut berangkat pada landasan hukum Pasal 1320 KUHPerdata jo. Pasal 52 Ayat (1) Undang-Undang Ketenagakerjaan menyangkut syarat sah perjanjian serta merujuk pada Surat Edaran Kemenaker No. B.796/PHIJSK/IX/2015 yang berangkat pada ketentuan Pasal 1338 KUHPerdata.
Namun, penulis menilai bahwa pendapat tersebut terlalu naif saat kita mengesampingkan aspek relasi kuasa antara pekerja dan pemberi kerja yang tak setara. Karakteristik perjanjian kerja dengan perjanjian biasa tentu sangat berbeda. Pekerja hanya dihadapi dengan satu pilihan: take it or leave it.
Ketidaseimbangan kedudukan tersebut berpotensi mengakibatkan pekerja akhirnya bersedia menerima persyaratan apapun asal dipekerjakan, salah satunya yaitu penyepakati penahanan ijazah. Padahal, penahanan ijazah tersebut berpotensi merugikan hak karyawan karena perusahaan memegang dokumen berharga milik karyawan yang seharusnya dikuasai secara langsung oleh karyawan.
Perlindungan Hukum Karyawan