Tidak hanya sebagai dokumen penting yang membuktikan bahwa seseorang telah lulus menempuh pendidikan, ijazah juga berperan sebagai status sosial dan syarat dalam melamar pekerjaan. Selembar kertas ini sangat berharga karena tidak hanya soal berapa banyak materi yang dikeluarkan, tetapi juga waktu, usia dan tenaga yang harus dikuras untuk “menebusnya”.
Dalam konteks ketenagakerjaan, ijazah masih menjadi syarat wajib bagi banyak perusahaan dalam merekrut para calon karyawan. Persyaratan untuk melampirkan ijazah oleh perusahaan sudah menjadi hal lumrah. Akan tetapi, semua ini menjadi masalah ketika ijazah asli harus ditahan dengan dalih “dititipkan”.
Umumnya, syarat penahanan ijazah karyawan baru oleh perusahaan dimaksudkan sebagai “jaminan” dan bentuk keseriusan karyawan bekerja di perusahaan tersebut. Hal ini sering dilakukan oleh beberapa perusahaan dengan tujuan agar setiap karyawan tidak mengundurkan diri (resign) sebelum masa kontrak kerja selesai. Syarat ini sering menyasar pegawai kontrak yang berstatus Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT).
Akan tetapi, perlu digarisbawahi bahwa yang menjadi inti permasalahan adalah soal bagaimana penahanan ijazah merupakan tindakan berbahaya. Hal ini terjadi khususnya ketika syarat tersebut digunakan pengusaha sebagai alat untuk memaksa, mengekang dan “mengintimidasi” karyawan untuk tetap patuh pada regulasi internal, kendati ekosistem perusahaan tersebut buruk. Bahkan ada juga pada beberapa kasus ketika kontrak kerja karyawan telah selesai atau denda telah dibayarkan tapi ijazah tak kunjung dikembalikan. Kondisi ini tak hanya merugikan karyawan. Pembiaran tradisi ini justru memperburuk citra perusahaan di para pencari kerja.
Legalitas Penahanan Ijazah