Pada masa politik hukum kolonial, Belanda menempatkan Hukum Islam sebagai bagian dari Hukum Adat. Namun, dalam perkembangannya pasca kemerdekaan Indonesia, bermunculan teori yang membantah masuknya Hukum Islam ke dalam bagian Hukum Adat.
Pada masa penjajahan Belanda, setidaknya terdapat dua pendekatan kebijakan pemerintah waktu itu terhadap pemberlakuan Hukum Islam, yaitu pada masa VOC dan masa pemerintahan Hindia Belanda. Pada zaman VOC berkuasa, Hukum Islam telah mendapat legalitas yaitu adanya resolusi pemberlakuan kumpulan hukum perkawinan dan hukum kewarisan yang dikenal dengan Compendium Freijer.
Politik hukum penguasa Indonesia pasca-kemerdekaan turut mendorong kenyataan yang berkembang, seperti penghapusan peradilan adat (adatrechspraak) secara berangsur angsur. Hapusnya pengadilan Adat telah merusak dan menggerus kekuatan hukum Adat sebagai suatu sistem hukum yang berlaku di Indonesia, sebaliknya Hukum Islam memperlihatkan penguatan peradilan agama yang terakhir ini diatur berdasarkan UU No. 50 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua atas UU No. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama.
Eksistensi Hukum Islam semakin menguat dengan berlakunya sejumlah peraturan perundang-undangan dalam bidang Surat Berharga Syariah Negara (SBSN) (Sukuk), Perbankan Syariah, Pengelolaan Haji, Pengelolaan Zakat, dan lain-lainnya, serta sebagai suatu sistem hukum, Hukum Islam yang mengusung nilai-nilai Islami (Prinsip-prinsip Syariah), semakin memberi arti dalam pola perilaku bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Meskipun, secara konstitusional ditegaskan bahwa Indonesia bukan negara berdasarkan atas Hukum Islam, namun dalam tataran implementatif, kedudukan dan peran Hukum Islam sebagai bagian dari sistem hukum nasional dihadapkan pada berbagai tantangan.