Karena kosongnya pengertian dari unsur-unsur delik penghinaan, pasal-pasal ini menjadi cenderung objektif. Sebagai delik yang disandarkan langsung kepada objek nama baik pemerintah, hal ini menjadi semakin membingungkan, bagaimana mungkin suatu jabatan dapat memiliki perasaan atas penyerangan nama baiknya.
Suatu jabatan itu memberikan tugas dan kewajiban bagi mereka yang mengembannya, bukan memberikan hak keistimewaan terhadap mereka. Sebagai negara hukum yang menganut prinsip equality before the law, keberadaan pasal-pasal penghinaan telah memberikan privilese terhadap presiden, wakil presiden, serta pemerintah secara umum dan melanggar prinsip tersebut.
Dihidupkan kembalinya pasal-pasal penghinaan dalam RKUHP akan berimplikasi kepada Indonesia sebagai negara yang berkedaulatan rakyat. Pasal-pasal warisan kolonial pada awalnya merupakan implementasi dari kekuasaan absolut raja pada masa lalu sehingga tidak sesuai dengan sistem negara yang dianut Indonesia sekarang.
Kebebasan berpendapat harus selalu dilakukan dengan memperhatikan kewajiban menjaga hak orang lain, jadi peraturan mengenai penghinaan sebenarnya memiliki urgensi, namun apabila diatur khusus untuk presiden, wakil presiden, dan pemerintah akan tidak sesuai. Sepatutnya, Pasal 310-321 KUHP mengenai penghinaan telah cukup untuk melindungi hak dan juga nama baik pribadi seseorang.