Hakordia (Hari Antikorupsi Sedunia) diperingati setiap tanggal 9 Desember. Hal tersebut tidak lain untuk mengingatkan dampak buruk yang ditimbulkan oleh korupsi, baik secara ekonomi, keuangan, pendidikan dan lai-lain. Peringatan Hakordia, tidak lagi hanya menjadi ucapan tapi justru disertai tindakan. Dimana dalam momentum Hakordia ini perlu direfleksikan apa saja yang sudah dilakukan pemerintah khususnya, dalam melakukan pemberantasan korupsi di tanah air.
Sejauh ini perkembangan korupsi sangat pesat terutama disektor pendidikan, padahal harusnya pendidikan sebagai basis penguatan moral dan etika perilaku korupsi tidak terjadi dilingkungan pendidikan. Dalam UUD 1945 dan UU Sisdiknas telah memberikan mandat bahwa pendidikan sebagai pelayanan publik dasar, memperoleh pembagian anggaran yang cukup tinggi yakni 20 % dari APBN dan APBD. Akan tetapi anggaran yang besar tersebut justru tak sejalan dengan kualitas pendidikan di Indonesia yang sampai saat ini masih belum maksimal.
Menurut Survei Program For International Student Assessment (PISA) yang dirilis pada tahun 2019 lalu, telah menempatkan posisi Indonesia di peringkat ke-72 dari 77 negara yang di survey. Skor Indonesia bahkan hanya berkisar di angka 382, dengan kondisi tersebut maka progress dari pendidikan di Indonesia bisa dibilang stagnan sejak tahun 2003.
Sejalan dengan kajian dari Indonesia Corruption Watch (ICW) yang mengatakan bahwa dalam kurun waktu dari 2016-2021 korupsi di sektor pendidikan selalu menempati posisi 5 besar yang kemudian ditindak oleh Aparat Penegak Hukum (APH).
Hal tersebut juga diperparah dengan terbongkarnya kasus korupsi Bantuan Operasional Pendidikan (BOP) yang dilakukan oleh Kementerian Agama untuk penanganan Covid-19 di pesantren dan Lembaga pendidikan Islam.
Masifnya korupsi ditengah pandemi, menandakan bahwa pemberantasan korupsi di Indonesia belum berjalan secara optimal. Padahal sebagai salah satu negara yang meratifikasi The United Nations Convention Against Corruption (UNCAC) harusnya korupsi di Indonesia dapat ditanggulangi bukan justru sebaliknya.
Komitmen Pemberantasan Korupsi dan Integritas Pejabat Publik
Turunnya indeks penegakan pemberantasan korupsi telah berdampak pada semakin buruknya etika pejabat publik. Terutama banyaknya pejabat publik yang melakukan korupsi dan rangkap jabatan.
Ditambah komitmen presiden sebagai kepala pemerintahan untuk memperkuat lembaga antikorupsi atau KPK seakan hanya menjadi angin lalu, karena sejauh ini justru mengalami pelemahan akibat revisi UU KPK dan juga adanya dewan pengawas serta pemecatan 76 pegawai KPK yang tak lolos TWK.
Sialnya, pasca direvisinya UU KPK status pegawai KPK menjadi ASN sebagaimana bunyi Pasal 1 Angka 6 yang menyebutkan bahwa “pegawai KPK adalah ASN sebagaimana dimaksud dalam peraturan perundang-undangan mengenai ASN”
Presiden selaku pimpinan tertinggi seperti gagal mewujudkan agenda pemberantasan korupsi yang massif, hal tersebut dapat dilihat dari tidak dilaksanakannya rekomendasi dari lembaga Komnas HAM yang sebenarnya telah jelas menemukan pelanggaran serius terkait TWK.
Bahkan di tengah pandemi seperti saat ini, tidak sedikit pejabat publik yang melakukan bisnis alkes, dan juga PCR dalam penanganan Covid-19. Artinya hal itu menjadi bukti nyata lemahnya pengelolaan pemerintahan terkait integritas pejabat publik.
Merosotnyanya kebijakan politik dalam rangka untuk memperkuat agenda pemberantasan korupsi dapat dilihat melalui politik legislasi nasional. Sederet regulasi penting seperti RUU Perampasan Aset, tidak pernah dimasukkan dalam program legislasi nasional (Prolegnas) prioritas.
Hakordia dan Refleksi Penegakan Pemberantasan Korupsi di Indonesia
Peringatan hari antikorupsi sedunia setiap tanggal 9 Desember, merupakan momentum bahwa korupsi sebagai kejahatan extra ordinary crime bukan hanya menjadi tanggung jawab pemerintah, tapi juga dibutuhkan peran serta masyarakat. Dalam hal penegakan pemberantasan korupsi, tidak hanya bergantung pada regulasi hukum saja tapi juga aparat penegak hukum, serta peran masyarakat sebagai bagian control penegakan hukum.
Sejauh ini, pasca terbitnya UU KPK yang baru pada tahun 2019 lalu telah membawa dampak besar pada penegakan pemberantasan korupsi. Pasalnya UU tersebut memposisikan KPK sebagai satu-satunya lembaga penegak pemberantasan korupsi, kemudian dimasukkan kedalam rumpun kekuasaan eksekutif.
Dampak dari KPK yang dulunya lembaga independen, yang sekarang dimasukkan kedalam rumpun kekuasaan eksekutif membuat KPK tak lagi independen karena berada serumpun dengan lembaga eksekutif lain.
Hal ini terbukti pasca terbitnya UU KPK tersebut Indeks Persepsi Korupsi Indonesia mengalami penurunan secara drastic sebagaimana hasil laporan dari Tranparansi Internasional Indonesia yang diterbitkan pada beberapa bulan lalu. Tidak hanya berhenti disitu saja, perlunya izin dari dari dewan pengawas dalam hal melakukan penyadapan, telah membuat KPK sebagai penegak pemberantasan anti korupsi menjadi terhambat.
Apalagi Operasi Tangkap Tangan (OTT) yang menjadi ciri khas KPK dalam menangani kasus korupsi, telah mengalami penurunan secara signifikan. Padahal OTT merupakan cara paling efektif dan ampuh dalam menindak pelaku korupsi. Sebab pada operasi tangkap tangan akan didapat bukti, pelaku dan juga bukti lainnya.
Selanjutnya, perihal komitmen presiden yang ingin memperkuat penegakan pemberantasan korupsi, menjadi pertanyaan penting untuk dijawab. Karena sampai saat inipun korupsi semakin masif terjadi, dan bahkan disituasi pandemic seperti sekarang ini banyak sekali pejabat public, justru memanfaatkannya untuk ladang bisnis.
Oleh karena itu, Hakordia tahun 2021 ini, harus bisa jadi barometer bahwa penegakan dan penguatan penegakan pemberantasan korupsi di Indonesia belum optimal atau bahkan masih jauh dari harapan besar masyarakat Indonesia.
Leave a comment