SEJARAH GOOD CORPORATE GOVERNANCE DI INDONESIA
Sejarah corporate governnace Indonesia berhubungan erat dengan krisis finansial Asia Selatan 1997. Krisis mulai dari Thailand, terus menyerbu Philipina, Indonesia, Malaysia dan Korea Selatan. Tragedi itu datang melanda hanya beberapa bulan setelah the World Bank mengeluarkan laporannya tentang macan ekonomi Asia, yang menginspirasi negara berkembang lainnya. krisis Asia 1997 merupakan tonggak sejarah perkenalan konsep the Anglo-American corporate governance di Indonesia.
Keadaan keuangan Indonesia tahun 1997 sangat mengenaskan; nilai rupiah pada pertengahan Agustus 1997 terjun bebas sampai 27% terhadap dollar Amerika. Ahli lainnya mengatakan bahwa krisis Asia Selatan berdampak besar terhadap sejumlah negara Asia Tenggara, termasuk Indonesia. Pada saat itu mata uang Indonesia mengalami depresiasi hampir 80% dan beberapa bisnis terutama sektor perbankan menjadi sekarat Untuk menghadapi kondisi buruk itu, pemerintah Indonesia membutuhkan suntikan dana segar.
The International Monetary Funds (IMF) datang membawa bantuan. Lembaga ini menawarkan bantuan bersyarat. Mereka berkenan memberikan pinjaman asalkan pemerintah Indonesia bersedia memenuhi beberapa persyaratan. Satu diantaranya, komitmen untuk memperbaiki sistim corporate governance. Di mata IMF saat itu sistem corporate governance Indonesia menjadi salah satu titik lemah bangunan perekonomian Indonesia. Akhirnya, sebagaimana yang terbaca di dalam 5 Letters of Intent pemerintah Indonesia kepada IMF, Indonesia setuju dengan seluruh persyaratan yang diajukan IMF. Dan bantuan IMF untuk Indonesia mulai diberikan.
Menindaklanjuti nota kesepakatan tersebut, kemudian pemerintah Indonesia telah mencanangkan penerapan good corporate governance dengan didirikan satu lembaga khusus yang bernama Komite Nasional mengenai Kebijakan Corporate Governance (KNKCG), yang kemudian dirubah menjadi Komite Nasional Kebijakan Governance (KNKG). KNKG dibentuk berdasarkan Keputusan Menteri Negara Koordinator Bidang Keuangan dan Industri Nomor: KEIP-31/M.EKUIN/06/2000.
Tugas pokok KNKG adalah merumuskan dan menyusun rekomendasi kebijakan nasional mengenai GCG yang mencakup:
- Code for Good Corporate Governance untuk dijadikan acuan usaha Indonesia
termasuk program sosialisasinya; - Rincian penyempurnaan perangkat hukum dan perundangan yang mendukung
penetapan Code of GCG di Indonesia; - Struktur kelembagaan, baik yang permanent maupun ad hoc dan sementara, untuk
mendukung penerapan code for GCG di atas
Kemudian dari KNKG inilah terbitlah “Pedoman Umum Good Corporate Governance di Indonesia” pada tahun 2006 yang menjadi pedoman bagi pemerintah dalam menerbitkan aturan hukum yang mendorong penerapan GCG dan menjadi pedoman bagi perusahaan swasta dalam penerapan GCG.
PRODUK HUKUM PENERAPAN GOOD CORPORATE GOVERNANCE DI INDONESIA
Sejak terjadinya krisis ekonomi 1998 menjadi pelecut bagi pemerintah untuk menerapkan good corporate governence secara maksimal, banyak aturan hukum digunakan agar prinsip-prinsip good coporate governance dapat diterapkan diberbagai sektor antara lain :
GOOD CORPORATE GOVERNANCE DI PERBANKAN
Di dunia perbankan ada dua Undang-Undang penting untuk awal penerapan good coporate governece di Indonesia yaitu Undang-undang Nomor 10 Tahun 1998 Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan dan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia yang menganut beberapa prinsip-prinsp sebagai berikut :
Independent
Dalam menjalankan tugas-tugasnya, bank harus dapat mengambil keputusan yang objektif dan bebas dari tekanan oleh pihak manapun. Hal ini dilakukan untuk menghindari dominasi oleh salah satu atau sebagian dari jajaran pemegang saham yang bisa mempengaruhi strategi perusahaan dan kebijakan-kebijakan yang diambil serta mencegah benturan kepentingan dari pemegang saham.
Kedudukan yang independen terutama bagi Bank Indonesia diperlukan agar tugas dan kewenangannya dapat dilaksanakan dengan lebih terfokus dan tidak memihak kepada suatu kepentingan atau tujuan jangka pendek yang dapat membahayakan kestabilan ekonomi dan moneter serta neraca keseluruhan sebagaimana tercantum pada Pasal 4 UU No. 23 tahun 1999 tentang Bank Indonesia :
“Bank Indonesia adalah lembaga negara yang dalam melaksanakan tugas dan kewenangannya bebas dari campur tangan Pemerintah dan atau pihak-pihak lainnya, kecuali ditentukan secara tegas dalam undang-undang”
Keterbukaan
Dunia perbankan dalam menjalankan tugas-tugasnya, baik pejabat internal bank beserta seluruh jajaran staff harus bisa mengungkapkan informasi dengan jelas, lugas, akurat, dan dapat diperbandingkan. Tujuannya agar seluruh stakeholders atau pemegang saham dapat mengakses informasi tersebut sesuai dengan haknya.
Informasi tersebut meliputi namun tidak terbatas pada visi dan misi, strategi dan rencana perusahaan, informasi keuangan dan non keuangan, susunan pejabat dan juga sistem pengawasan, penerapan sistem kepatuhan, serta manajemen risiko. Sehingga, semua kebijakan bank harus dikomunikasikan dan didata dengan akurat kepada jajaran pemegang saham yang berhak atas informasi tersebut. Walau demikian, sebagai penyedia jasa pengelolaan keuangan, pejabat intern bank juga harus bisa memegang data-data sensitif yang berkaitan dengan data pribadi nasabah dan ketentuan rahasia bank sesuai dengan peraturan undang-undang. Sebagaimana pada Pasal 44 A Undang-undang Nomor 10 Tahun 1998 Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan :
“Atas permintaan, persetujuan atau kuasa dari Nasabah Penyimpan yang dibuat secara tertulis, bank wajib memberikan keterangan mengenai simpan Nasabah Penyimpan pada bank yang bersangkutan kepada pihak yang ditunjuk oleh Nasabah Penyimpan tersebut.”
Keterbukaan informasi di dunia perbankan juga dijunjung oleh Bank Indonesia hal ini
termuat pada Pasa 58 UU No. 23 tahun 1999 tentang Bank Indonesia :