Pada dasarnya tidak ada aturan khusus yang mengatur mengenai proses UU dengan metode fast track legislation di Indonesia. Peluang pemberlakuan fast track legislation dapat dimulai dengan mereformulasi sesuai ketentuan yang ada pada Pasal 23 ayat (2) UU No. 15 Tahun 2019. Dengan catatan bahwa harus dikembangkan serta dilakukan kodifikasi secara holistik dalam aturan tentang pembentukan peraturan perundang-undangan di Indonesia untuk menegaskan pengaturan fast track legislation ini kedepan. Sehingga diperlukan beberapa hal yang dapat dilakukan, diantaranya:
- Melakukan harmonisasi Peraturan Perundang-undangan dengan melegitimasi keberlakuan fast track legislation di Indonesia kedepan. Dalam diskursus ini dapat dimulai dengan penegasan mekanisme fast track legislation dalam konstitusi yang secara mutatis mutandis dilakukan amandemen UUD 1945. Berkaitan dengan ini penulis mengusulkan adanya pembenahan mengenai proses legislasi merespon peristiwa kegentingan dan darurat di Indonesia dengan menghapus kewenangan Presiden menyusun Perppu dan digantikan dengan mekanisme fast track legislation. Hal ini penting dilakukan agar tidak terjadi tumpang tindih aturan dan kewenangan serta untuk menegaskan pemurnian fungsi legislasi dalam sistem presidensiil di Indonesia.
- Penegasan kembali kategori urgensitas (peristiwa darurat/mendesak) yang seperti apa untuk diklasifikan sebagai suatu UU yang perlu dibahas menggunakan model fast track legislation. Setidaknya berpacu pada Pasal 23 UU No. 15 Tahun 2019 yang memberikan kategori atas UU yang dapat diajukan diluar prolegnas sudahlah cukup. Namun, penulis menegaskan juga diperlukan terkait keadaan tertentu lainnya meliputi seperti adanya situasi yang mengancam Hak Asasi Manusia, kebebasan dan stabilitas nasional yang terenggut hingga adanya kerugian ekonomi nasional yang besar sebagaimana yang diterapkan dibeberapa Negara seperti Republik Ceko.
- Penyusunan RUU model fast track legislation dilakukan dengan menegaskan mekanisme prosedural yang melibatkan partisipasi publik, serta hak konstitusionalitas masyarakat dengan memperhatikan HAM ditengah kebutuhan UU yang cepat.
Penerapan mekanisme fast track legislation di negara lain
Berangkat dari pengalaman yang telah dilaksanakan oleh beberapa negara, setidaknya terdapat dua mekanisme mengenai pembahasan yang cepat ini yakni penghapusan perdebatan yang bersifat politis dalam proses legislasi seperti Prancis, Selandia Baru, hingga Ceko. Lalu, pembatasan durasi pembahasan/memotong prosedural pembahasan dalam proses pembentukan UU seperti Kolombia, Ekuador, Polandia, Latvia, hingga Slovakia. Bagi penulis menerapkan keduanya merupakan alternatif bagi proses pembahasan RUU fast track legislation di Indonesia kelak. Sebagai masukan mekanisme yang berjalan nantinya adalah dibatasi setiap pembahasan yang menimbulkan perdebatan/dialektika politis berdasarkan waktu yang ada. Selain itu menetapkan waktu maksimal pembahasan RUU juga sangatlah penting. Misal pembahasan RUU dibatasi hanya akan dibahas dalam waktu 30 hari yang juga diterapkan oleh Kolombia maupun Polandia yang emberikan batasan waktu selama 14 hari dalam pembahasan parlemen serta 7 hari waktu penandatanganan oleh Presiden. Proses pembahasan RUU fast track legislation lainnya adalah dengan memotong proses pembahasan RUU biasa atas dasar kegentingan. Praktik ini misal dilakukan oleh Negara Slovakia ataupun Slovenia. Jika merujuk kepada aturan di Indonesia, maka dapat dilakukan suatu prosedur pembahasan RUU fast track legislation yang dimodifikasi dengan meleburkan prosedur pembicaraan tingkat I dan tingkat II. Hal ini tertuang dalam Pasal 67, 68, dan 69 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan yang akan menjadi satu prosedur pembicaraan. Mengenai pengesahan dan pengundangan yang telah disetujui tersebut juga harus dilakukan secara cepat untuk menegaskan keberadaan RUU yang dapat merespon peristiwa yang mendesak.