Konsep restorative justice merupakan tujuan agar konsep diversi dapat diterapkan di peradilan pidana anak. Inti dari keadilan restoratif adalah penyembuhan, pembelajaran moral, keterlibatan dan kepedulian masyarakat, pengampunan, akuntabilitas, dan pelaksanaan perubahan, semua pedoman untuk proses keadilan restoratif. UU no. 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak, kini dicabut, yang ditandai dengan berlakunya UU No. 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak (SPPA), yang dalam undang-undang baru ini mengintegrasikan disiplin pada peradilan anak dengan menerapkan prinsip-prinsip penting yang terkandung dalam Beijing Rules, yang ditandai dengan pasal yang menetapkan bahwa dalam sistem peradilan pidana anak dimaksud pada ayat (2) huruf a dan b harus dicari penyimpangannya (Pasal 5 ayat 3 UU SPPA).
Sejak diterbitkan dan mulai berlaku pada Juli 201 , menggantikan undang-undang no. 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak, UU SPPA memperkenalkan pendekatan keadilan restoratif melalui sistem diversi. Selama 3 tahun pemberlakuan UU SPPA, menarik untuk melihat bagaimana hasil penerapan pendekatan keadilan restoratif melalui sistem diversi ini. Setidaknya terdapat 3 hasil penting implementasi UU SPPA.
Pertama, meningkatnya jumlah anak yang diadili karena diversi. Data Badan Umum Kehakiman Mahkamah Agung (Badilum MA) menyebutkan perlakuan terhadap anak di bawah umur di pengadilan negeri periode 201 -2016. Pada tahun 201 , ada 1.823 kasus yang melibatkan anak sebagai pelaku, yang diterima di seluruh Pengadilan Negeri di Indonesia. Pada tahun pertama pelaksanaan SPPA, Apong mengatakan bahwa 1% dari jalan memutar berhasil dalam menyelesaikan kasus pidana remaja. Pada tahun 2015, jumlah perkara yang diterima oleh Pengadilan Negeri sebanyak 5. 26 perkara. Sementara itu, keberhasilan penerapan deviasi sebesar 3%. Jadi, pada tahun 2016, dari 6.679 kasus yang sampai ke pengadilan negeri, ada % keberhasilan dalam pelaksanaan diversi.