Sekilas apa yang terjadi menjadi hal yang normal untuk mencapai selesainya sebuah tugas secara efektif dan efisien (atau atas dasar perintah) namun hal tersebut tentu tidak bermoral. Dengan demikian Setting dimensi etika dengan tujuan menciptakan standar kepatuhan dan ketaatan bersama dalam sebuah aturan tertentu nyatanya belum tentu mampu membawa nilai baik secara mutlak.
Disisi lain, setting dimensi etika yang seperti mesin (berpola dan rutin) menyebabkan adanya aktor publik yang tidak kreatif, lebih senang didikte, tidak memunculkan aktor publik yang memiliki rasa empati dan simpati, adanya sikap masa bodo, cari aman (lebih baik diam daripada disingkirkan), kaku tanpa melihat situasi, akan lebih senang mengatakan bahwa aturannya demikian. Aturan yangt detail menyebabkan keterbatasan bahkan tidak adanya kesempatan untuk melakukan diskresi.
Dimensi etika yang diharapkan mampu mewujudkan pelaksanaan diskresi yang terkendali berubah menjadi dimensi yang mampu mengkekang yang berarah pada kegagalan dan kejahatan administrasi publik. Dengan demikian dapat kita lihat bahwa setting pengakuan dimensi etika berisiko membawa permasalahan etika dan profesionalisme lainnya, pertama setting etika sebagai nilai sesungguhnya dimana ada manipulasi pengakuan nilai yang dilakukan oleh pemerintah sebagaimana yang diceritakan sebelumnya dan yang kedua setting dimensi etika yang memunculkan birokrasi mesin.
Bukan Bagian Akhirnya
Dalam kerangka yang dihadirkan, banyak pihak menjelaskan bahwa hukum menjadi salah satu alat untuk menciptakan dimensi etika yang berkelanjutan dan mutlak. Namun perlu diperhatikan pula, bahwa hukum merupakan produk akhir yang dikemas oleh penguasa dengan politiknya. Hukum pada tataran hanya hasil akhir dalam pembentukan kebijakan yang mungkin saja dibungkus untuk memberikan keuntungan kelompok tertentu sehingga mampu menciptakan kegagalan dan kejahatan publik secara sah dan legal.
Secara nyata, hukum bukanlah akhir dari cerita menghadirkan dimensi etika yang mutlak, mengingat ada kondisi dimana “hukum”, “undang-undang” tidak sertai oleh moral, “Quid Leges Sine Moribu”. Hukum yang terbentuk tanpa moral akan cenderung membela kepentingan-kepentingan para penguasa dan kelompok tertentu. Dalam menghindari hukum yang dijadikan alat pemukul oleh para penguasa secara sah dimata hukum kepada rakyat, maka diperlukan akal sehat publik untuk terus mengawasi jalannya suatu pemerintahan dengan berlandaskan pada ideologi bangsa yang bersangkutan.
Dalam tulisan yang disampaikan nampaknya sangat membosan apabila membicarakan tentang pembentukan dimensi etika yang ideal dengan melaksanakan pelatihan-pelatihan tertentu kepada aktor publik agar selalu sadar. Dalam tahapan yang ada, kesadaran bersama baik antara aktor publik dengan rakyat menjadi kunci penting dan mutlak dalam menciptakan negara yang bermoral.
Para aktor publik yang ada didalamnya dapat memperkuat dimensi etika secara bersama-sama baik dengan perbaikan dari atas maupun perbaikan dari bawah itu sendiri. Pada perbaikan dari atas, Max Weber menjelaskan bahwa “suatu perubahan dapat berhasil diwujudkan melalui kontrol para elit yang memegang kekuasaan. Karena itu, rezim pemerintah yang sedang berkuasa, dipercayai sebagai agen utama untuk melakukan perubahan.” Jadi membangun birokrasi, menurut paradigma ini harus dimulai dari rezim pemerintah yang sedang berkuasa.
Sementara perbaikan dari bawah Emile Durkheim menjelaskan bahwa: “pembangunan birokrasi harus dimulai dari manusia yang ada dalam birokrasi itu, karena manusialah yang menciptakan sistem. Kalau manusianya berkualitas baik, ia akan tetap bertindak baik meski berada dalam sistem yang salah.”
Menuju akhir, maka pembangunan dimensi etika tidak hanya sekedar membangun dimensi yang kaku karena peraturan yang dibentuk agar terlihat patuh dan taat namun lebih dari itu. Etika sebagai sebuah kompetensi harus dimiliki oleh mereka yang berada pada posisi sebagai aktor publik yang dipilih dan dipercaya oleh rakyat. Sementara kompetensi teknis lainnya juga penting bagi para aktor publik dimana hal tersebut mampu menghindari diri dari kegagalan dan kejahatan administrasi publik
kawanhukum.id merupakan platform digital berbasis website yang mewadahi ide Gen Y dan Z tentang hukum Indonesia. Ingin informasi lomba, webinar, call for papers atau acara kalian lainnya juga diterbitkan di sini? Klik tautan ini.