Tidak hanya sebagai keputusan pemerintah yang efektif dan efisien secara sistem namun memperhatikan Hak Asasi Manusia, partisipasi masyarakat dan lingkungan. Dalam dimensi organisasi dan manajemen, maka dimensi etika menjadi sistem sensor dalam manajemen untuk mencapai tujuan organisasi dengan maksimal, melepaskan budaya “asal bapak senang”, menciptakan kepatuhan, profesionalisme dan menghilangkan patologi organisasi lainnya. Dengan adanya dimensi etika dalam administrasi publik maka mempertegas bahwa para aktor publik bukanlah alat pembenar tindakan ataupun kepanjangan tangan dari penguasa dan menegaskan pula tentang mencapai kepentingan publik bukan kepada kepentingan pribadi maupun kelompok tertentu.
Kesadaran dan Pengakuan terhadap Dimensi Etika
Apabila didalam masyarakat, kesadaran etika tersebut dilanjutkan dengan membentuk pengakuan untuk menilai apa itu perbuatan bermoral dan tidak, maka masyarakat dapat pula membentuk standar kepada aktor publik yang ada. Dalam interaksi antar sesama, dimensi etika dan moral pasti akan selalu dijunjung dengan tujuan untuk menghargai perasaan antar sesama dan menghindari konflik secara khusus. Namun pada kenyataannya, dimensi etika telah mengalami perkembangan pesat dari yang hanya untuk menciptakan rasa hormat antarsesama berubah menjadi dimensi yang kompleks dan rumit ketika berada pada tahapan tentang interaksi dan aktivitas negara.
Dalam tahapannya, dimensi etika menjadi hal yang tidak hanya penting namun mutlak ada dengan tujuan untuk membimbing dan mengendalikan para aktor publik. Dimana dimensi etika memberikan pengaruh dan getaran yang kuat terhadap dimensi administrasi publik lainnya seperti dimensi kebijakan, organisasi, manajemen, lingkungan dan kinerja sebagaimana yang disampaikan sebelumnya.
Dengan dimensi etika maka lahirlah kebajikan publik. Tanpa kebajikan, administrasi publik dan aktor publik yang ada hanyalah melakukan pekerjaan pemerintah rutin dan biasa. Lalu apa yang dimaksud tindakan atau perbuatan pemerintah itu beretika? Kategori apa yang digunakan bahwa pemerintah itu bermoral atau beretika?
Secara nyata, pemerintah yang bermoral tidak lagi hanya mengerjakan pekerjaan yang mengarah pada efisien, efektif dan ekonomi, tetapi lebih dari itu. Dalam rangkaian yang ada, para ahli memunculkan berbagai aliran yang mempengaruhi dimensi etika administrasi publik, yaitu Ethical Triangle yang disampaikan Bowman.
Ethical Triangle secara nyata terdiri dari tesis, antithesis dan sintesis dari berbagai aliran yang muncul yang pada akhirnya membentuk segitiga etika publik.
- Tesis dari Ethical Triangle adalah aliran deontologi yang disampaikan oleh Immanuel Kant dan John Raws, bahwa memusatkan perhatian pada kewajiban dan prinsip yang harus diikuti (ketaaan dan kesesuaian).
- Antitesis dari pernyataan tersebut adalah aliran utilitarianisme yang disampaikan oleh Jeremy Bentham bahwa etis tidaknya sesuatu kegiatan tergantung kepada kecenderungan menghasilkan kebahagiaan, atau mengurangi kebahagiaan.
Dengan adanya tesis dan antithesis yang disampaikan maka muncullah aliran Virtue Ethical sebagai sintesis, bahwa substansi aktual dari etika atau moral ini tidak dapat dipahami dengan memprediksi hasil atau akibat, atau kesesuaian dengan kewajiban, tetapi dipahami dari “internal imperative to do right”.
Dengan adanya kesadaran tentang standar atau ukuran pemerintah yang beretika maka secara sadar kita telah melakukan pembangunan etika publik secara emosional dan rasional. Pada tahapan upaya manusia yang sadar inilah yang memberikan sebuah pengakuan terhadap nilai yang dianggap baik, bermoralitas tinggi dan tepat.
Etika yang diakui tersebut secara langsung menjadi pedoman dan standar aktor publik, yang pada akhirnya mampu menghilangkan perspektif moral yang bersaing diantara individu yang ada pada pemerintahan. Namun sayangnya, pengakuan terhadap etika tersebut memunculkan dilemma etika lainnya. Dalam artian adanya perspektif moral yang bersaing lainnya.
Salah satu hal yang perlu dihindari adalah adanya setting etika dimana aktor publik meghadirikan pembalikan tentang etika yang buruk menjadi etik yang baik. Setting dimensi etika tersebut sering terjadi pada organisasi publik menyebabkan adanya berbagai kemungkinan kegagalan dan kejahatan administrasi publik dalam sistem yang dibangun dan sumber daya manusia yang ada didalamnya.
Setting dimensi etika menyebabkan adanya kemungkinan bahwa orang atau pegawai yang bermaksud baik dan cermat dalam melaksanakan pekerjaannya secara tidak sengaja berpartisipasi dalm sistem dan proses yang menghasilkan kegagalan, bahkan menuju pada kejahatan administrasi publik yang merugikan rakyat.
Sebagai contoh klasik yang diberikan adalah peran pegawai negeri jerman dalam tindakan Holocaust. Tindakan tersebut tentu membutuhkan banyak pihak yang bermain, dimana diantara mereka ada yang sadar dan yang lainnya mungkin tidak sadar dengan kejahatan administrasi publik tersebut. Contoh yang lain yang paling dekat bisa juga tentang tugas kepolisian dalam menginterogasi para tersangka pelaku kejahatan dengan melakukan tindakan yang tidak pantas dan cenderung tidak bermoral, seperti penggunaan ular untuk menakut-nakuti, meninju dan menendang demi mendapatkan sebuah pengakuan.