Pemilihan umum (Pemilu) merupakan salah satu perwujudan dari demokrasi. Schumpeter menyebutnya sebagai demokrasi prosedural. Di Indonesia, terdapat hal menarik terkait dengan penetapan ambang batas perolehan suara yang harus dicapai oleh partai politik dalam pemilu.
Ambang batas ini menjadi syarat untuk dapat mengajukan calon presiden dan wakil presiden, lebih dikenal dengan istilah presidential threshold.
Regulasi Presidential Treshold
Aturan terkait presidential threshold tercantum dalam Bab VI Pasal 222 UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (UU Pemilu) hasil revisi UU Pemilu tahun 2008. Artinya, Pasangan Calon diusulkan oleh Partai Politik atau Gabungan Partai Politik Peserta Pemilu yang memenuhi persyaratan perolehan kursi. Syarat tersebut paling sedikit 20% (dua puluh persen) dari jumlah kursi DPR atau memperoleh 25% (dua puluh lima persen) dari suara sah secara nasional pada Pemilu anggota DPR sebelumnya.
Presidential threshold sebesar 20% telah berlaku selama tiga periode Pemilu Presiden (Pilpres). Pada praktiknya, dinilai telah menimbulkan problematika dalam sistem ketatanegaraan.
Presidensial treshold hingga saat ini telah diajukan uji materi ke Mahkamah Konstitusi (MK) sebanyak empat belas kali dan mendapat putusan penolakan atas keinginan para pemohon agar presidential treshold dihapuskan.
Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 14/PUU-XI/2013 menyampaikan bahwa presidential threshold merupakan kebijakan hukum terbuka (open legal policy) dari pembentuk undang-undang.
Istilah kebijakan hukum terbuka dapat dimaknai sebagai suatu kebebasan bagi pembentuk undang-undang untuk mengambil kebijakan hukum. Hal tersebut berarti bahwa DPR dan presiden memang diperbolehkan menentukan format presidential threshold.
Presidential Treshold 0%, Berbahaya
Tujuan ditetapkannya ambang batas dalam UU Pemilu tidak lain untuk menyederhanakan partai politik, menguatkan sistem presidensial melalui penguatan dukungan terhadap presiden dalam hal ini dukungan DPR, dan membatasi aturan demokrasi yang tidak absolut. Namun, aturan tersebut juga dinilai mencederai demokrasi dan hak konstitusional.
Dtinjau dari asas kesetaraan dalam demokrasi, presidential treshold dapat membuka peluang munculnya transaksional tertutup oleh elit partai politik tanpa melibatkan masyarakat luas. Konsekuensinya, kedaulatan rakyat untuk dapat berpartisipasi tidak sepenuhnya diberikan, bahkan cenderung mengkerdilkan hak berpolitik untuk dapat mencalonkan atau memilih calon presiden secara bebas.
Padahal, demokrasi seharusnya menganut prinsip ekualitas, yakni memastikan segala hak dan kedudukan warga negara bersamaan kedudukannya di depan hukum sebagaimana Pasal 27 ayat (1) UUD 1945. Hak memilih dan dipilih adalah hak yang mesti dijamin oleh negara.