Tersangka kasus suap Komisioner KPU Harun Masiku hingga saat ini keberadaannya masih belum ditemukan. Sejak statusnya buron pada 29 Januari 2020 lalu, penyelesaian kasus korupsi yang dilakukan tersebut stagnan, walaupun nama Harun Masiku sendiri masuk menjadi daftar Red Notice Polisi Internasional (Interpol). Keadaan ini sejalan dengan pernyataan Indonesia Corruption Watch (ICW) yang menyatakan bahwa KPK tidak serius dalam menangani kasus tersebut, sehingga komitmen pimpinan KPK yang ingin menangkap Harun Masiku secepatnya, hanya menjadi janji semata.
KPK sendiri seperti tidak memiliki kekuatan untuk menangani kasus tersebut, terlepas dari KPK tidak mampu atau memang sengaja abai terhadap kasus Harun Masiku, mengingat tersangka merupakan politisi PDI-P.
Sementara itu, regulasi hukum yang harusnya memperkuat KPK justru sebaliknya, yakni melemahkan komisi anti rasuah tersebut, diantara faktor-faktor yang melemahkan KPK salah satunya yakni diberlakukannya UU Nomor 19 Tahun 2019 (Revisi UU KPK). Bukan tanpa alasan, isi regulasi itu pada kenyataannya telah jauh dari tujuan dibentuknya KPK itu sendiri, disamping keadaan tersebut, juga terdapat dua sektor pekerjaan utama lembaga anti korupsi itu yang juga dilemahkan yakni sektor penindakan dan pencegahan, keadaan itu juga diperparah dengan pegawai KPK yang alih fungsi menjadi ASN.
Akhir-akhir ini, isu Kasus Harun Masiku kembali muncul dan bahkan beberapa NGO seperti MAKI (Masyarakat Anti Korupsi Indonesia) ikut mendesak KPK agar melakukan persidangan In Absentia mengingat sampai saat inipun politisi PDI-P tersebut belum juga ditemukan keberadaanya.
Kemudian, muncul pertanyaan apakah kondisi tersebut dapat dilakukan persidangan In Absentia? Sedangkan pelakunya sendiri masih belum diketahui keberadaannya. Artinya bahwa walaupun nantinya diputus oleh pengadilan terkait, maka eksekusinya juga akan mengalami kendala dikarenakan tersangkanya sendiri belum diketahui keberadaannya.
Pengadilan Bukan Satu-Satunya Jalan