DPR sebagai legislator melalui amanat yang diberikan oleh UUD 1945, memiliki kewenangan untuk mengawasi kewenangan dan tindakan Presiden dalam pembentukan Perpu. Kewenangan ini dapat dilihat dalam Pasal 22 Ayat (2) UUD 1945, bahwa DPR memiliki peran dan kewenangan untuk memberikan persetujuan atau tidak terhadap Perpu yang telah dibentuk oleh Presiden tersebut.
DPR dapat menilai apakah subjektivitas Presiden dalam menafsirkan kegentingan memaksa yang merupakan syarat konstitusi dalam membentuk Perpu dapat dibenarkan atau tidak, yang pada akhirnya pula, penilaian tersebut akan berujung dalam Persidangan DPR apakah dapat diterima atau ditolak Perpu tersebut menjadi Undang-Undang.
Idealnya, upaya hukum yang dapat dilakukan untuk mengakhiri Perpu akan lebih baik dilakukan melalui Mahkamah Konstitusi, walaupun saat ini masih terjadi perdebatan tersendiri mengenai dapat-tidaknya suatu Pwrpu dijadikan objek judicial review di Mahkamah Konstitusi.
Permasalahan mengenai bisa atau tidaknya Perpu menjadi objek judicial review ini diakibatkan pengaturan dalam UUD 1945 dan Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi sendiri yang menegaskan bahwa judicial review hanya dapat dilakukan atas suatu undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar. Artinya, Perpu bukanlah bagian dari objek judicial review dalam Mahkamah Konstitusi.
Namun, berdasarkan pertimbangan yang diberikan, Perpu dapat dijadikan objek judicial review terhadap Undang-Undang Dasar, penyebab utamanya adalah : Pertama, kesamaan materi muatan yang terkandung di dalam undang-undang maupun Perpu; Kedua, Dalam Pasal 7 UU.No.12/2011, undang-undang dan Perpi mempunyai kedudukan hierarki yang setara atau sejajar.
Dengan demikian, apabila Mahkamah Konstitusi tidak berwenang melakukan judicial review suatu Perpu bisa dipastikan tidak ada satupun lembaga yang dapat melakukan pengujian terhadap sebuah Perpu. Ketiga, jika Perpu tidak bisa dijadikan objek judicial review dalam ranah yudikatif manapun, maka bukan tidak mungkin suatu Perpu dapat menjadi alat represif pemegang pemerintahan, yang dalam hal ini akan menimbulkan risiko dalam upaya pengelolaan tata pemerintahan yang baik.
Sumber Bacaan:
Maria Farida Indrati S, Ilmu Perundang-Undangan, Yogyakarta: PT KANISIUS, 2007.
Jimly Asshiddiqie, Hukum Tata Negara Darurat, Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2007.
Putera Astomo, Ilmu Perundang-Undangan, teori dan praktik di Indonesia, Depok: PT. Rajagrafindo Persada, 2018.
Muin Fahmal, Peran Asas-asas Umum Pemerintahan yang Layak dalam Mewujudkan Pemerintahan yang Bersih, Yogyakarta: Penerbit Total Media, 2008.
Ibnu Sina Chandranegara, Pengujian Perppu Terkait Sengketa Kewenangan Konstitusional Antar-Lembaga Negara, Jakarta: Jurnal Yudisial, Vol V/No-01/April/2012.
Lihat lebih lanjut dalam Jazim Hamidi dan Mustafa Lutfi, “Paradigma Baru Lembaga Kepresidenan di Indonesia (Perspektif Teori Lembaga Negara)” dalam jurnal Hukum Progresif, No. 4/I/ 2008.
Muhammad Siddiq, Kegentingan Memaksa atau Kepentingan Penguasa (Analisis Terhadap Pembentukan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (PERPPU), UIN Ar-raniry, Jurnal Ilmu Syari’ah dan Hukum, Vol. 48, No. 1, Juni 2014.
kawanhukum.id merupakan platform digital yang mewadahi ide Gen Y dan Z tentang hukum Indonesia. Tulisan dapat berbentuk opini, esai ringan, atau tulisan ringan lainnya dari ide-idemu sendiri. Ingin tulisanmu juga diterbitkan di sini? Klik tautan ini.
Baca juga: