Sistem hukum yang biasa digunakan tidak mampu mengakomodasi kepentingan negara atau masyarakat sehingga memerlukan pengaturan tersendiri untuk menggerakkan fungsi-fungsi negara agar dapat berjalan secara efektif guna menjamin penghormatan kepada negara dan pemenuhan hak-hak dasar warga negara.
Dengan demikian, pemerintah atau administrasi negara (bestuur) memerlukan ruang gerak yang lebih bebas agar dapat bertindak cepat, tepat dan berfaedah atas inisiatif sendiri terhadap sesuatu yang peraturannya belum dibuat oleh pembuat undang-undang atau yang telah dibuat tetapi peraturannya tidak konkret.
Apabila ditelusuri lebih lanjut tentu disatu sisi Perpu menjadi upaya pemerintah untuk mengatasi dan mengendalikan situasi dan kondisi yang tidak biasa, namun disatu sisi kehadiran Perpu sendiri sebenarnya mampu menjadi hal yang berisiko bagi kehidupan tatanan kehidupan berbangsa dan bernegara.
Kewenangan Presiden untuk membentuk Perpu dengan landasan hal kegentingan yang tidak ditentukan bagaimana dan apa kriteria yang harus terpenuhi, menyebabkan Presiden memiliki hak subjektif untuk menafsirkan sendiri suatu situasi tertentu.
Kewenangan Presiden untuk menafsirkan secara subjektif inilah yang menyebakan akan adanya (kemungkinan) penyalahgunaan wewenang (abuse of power) dalam pembentukan Perpu. Sifatnya yang subjektif inilah yang memungkinkan terjadi penyimpangan dari segi maksud dan tujuan.
Melalui Perpu, Presiden mampu dan memiliki kewenangan untuk membuat suatu peraturan yang menyimpang dari tata cara yang biasa, yang secara lanjut akan mampu memunculkan kediktaktoran akan tetapi sah berdasarkan Konstitusi karena perancang UU tidak memberikan bagaimana dan apa saja kriteria mengenai “hal ikhwal kegentingan memaksa” tersebut.
Hal ini tentu bukanlah hambatan, karena perkembangan ilmu pengetahuan yang terus berkembang, berbagai pendapat ahli pun terus berkembang untuk menafsirkan arti “hal ikhwal kegentingan memaksa” sebagai tolak ukur pembentukan Perpu. Bagir Manan pun menjelaskan ciri umum kegentingan memaksa tersebut, diantaranya;
- Adanya Krisis, terjadi bila suatu gangguan yang menimbulkan kegentingan dan mendadak sifatnya;
- Adanya kemendesakan (emergency), bila terjadi berbagai keadaan yang tidak diperhitungkan sebelumnya dan menuntut tindakan segera tanpa memerlukan perundingan.
Berbeda dengan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 138/PUU-VII/ 2009 Tentang Pengujian UU KPK, menjelaskan bahwa Perpu diperlukan apabila:
- Adanya keadaan yaitu kebutuhan mendesak untuk menyelesaikan masalah hukum secara cepat berdasarkan UU;
- UU yang dibutuhkan tersebut belum ada sehingga terjadi kekosongan hukum, atau ada UU tetapi tidak memadai;
- Kekosongan hukum tersebut tidak dapat diatasi dengan cara membuat UU secara prosedur biasa karena akan memerlukan waktu yang cukup lama sedangkan keadaaan yang mendesak tersebut perlu kepastian untuk diselesaikan.
Dalam tahap kehadiran perpu dipertanyakan, kita bisa melaksanakan pengujian terhadap perpu tersebut. Makna Pengujian menjadi upaya penting sebagai wujud pengawasan, agar materi suatu peraturan perundang-undangan tidak bertentangan atau berlawanan atau menyimpang dengan materi peraturan perundang-undangan diatasnya (derajat lebih tinggi).
Bagir manan menjelaskan, untuk menjaga kaidah-kaidah konstitusi konstitusional lainnya tidak dilanggar atau disimpangi (baik dalam bentuk yang termuat dalam Undang-Undang Dasar dan peraturan perundang-undangan, maupun dalam bentuk tindakan-tindakan pemerintah lainnya), perlu ada badan serta tata cara mengawasinya.
Dalam literatur yang ada terdapat tiga kategori besar pengujan peraturan perundang-undangan dan perbuatan administrasi negara, yaitu: (1) pengujian oleh badan peradilan (judicial review), (2) Pengujian oleh badan yang sifatnya politik (political review), dan (3) Pengujian oleh pejabat atau badan administrasi negara (administrative review).
Dalam hal proses pengujian, untuk menghindari penyalahgunaan wewenang, suatu Perpu diuji oleh dua lembaga negara, yaitu melalui DPR sebagai legislator dengan metode legislative review dan Mahkamah Konstitusi dengan metode judicial review.