Pada 16 Juni 2022, Presiden mengesahkan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2022 tentang Perubahan kedua atas Undang-Undang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (UU PPP). Perubahan Ke-2 UU ini untuk memenuhi rekomendasi Mahkamah Konstitusi (MK) dalam Putusan Nomor 91/PUU-XVIII/2020.
Sekilas semua rekomendasi MK telah diakomodasi dalam UU PPP. Problematika dalam UU tersebut adalah mengenai transparansi dan partisipasi public dalam pembahasan revisi kedua UU PPP. Fakta yang terlihat pada laman program legislasi nasional Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (Prolegnas DPR RI) memperlihatkan bahwa pembahasan UU PPP hanya dilakukan selama 6 (enam) hari. Pihak yang dilibatkan dalam pembahasan Undang-Undang tersebut juga tidak mengikutsertakan masyarakat dalam pembahasanya.
Melihat fakta tersebut, penulis merasa bahwa revisi kedua UU PPP merupakan undang-undang yang inkonstitusional secara formil. Lantas apa yang menyebabkan UU PPP inkonstitusional? Apa yang harus dilakukan MK apabila UU PPP diuji oleh masyarakat?
Amanat yang telah dilaksanakan
Sebagaimana disebutkan dalam kalam pembuka, UU PPP dibentuk atas dasar rekomendasi MK dalam Putusan Nomor 91/PUU-XVIII/2020, diantaranya (Putusan Nomor 91/PUU-XVIII/2020; 413):
1. Agar semua undang-undang yang dibentuk dengan metode omnibus law dapat dinyatakan konstitusional, ketentuan mengenai omnibus law harus diatur ke dalam sebuah undang-undang.
2. Untuk menghindari undang-undang yang tidak sesuai dengan kebutuhan masyarakat, partisipasi publik harus disediakan tidak hanya pada tahap tertentu dalam pembentukan undang-undang, melainkan harus disediakan dalam setiap tahap pembentukan undang-undang.
Dari seluruh rekomendasi MK, semuanya telah diakomodasi ke dalam revisi ke-2 UU PPP. Revisi tersebut diantaranya:
Pertama, UU PPP telah mengakomodir ketentuan mengenai pembentukan peraturan perundang-undangan dengan metode omnibus law dalam Pasal 64 Ayat 1a dan 1b. Ketentuan ini bermakna bahwa semua jenis peraturan perundang-undangan dapat dibentuk dengan metode omnibus law, berhubungan dengan hal tersebut, maka hakikatnya ketentuan dalam Pasal 94 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah dapat dilaksanakan mulai saat ini.
Kedua, konsep partisipasi masyarakat yang telah ditegaskan untuk melibatkan masyarakat pada setiap tahapan pembentukan peraturan perundang-undangan dalam Pasal 96. Pada awalnya pasal ini tidak menyebutkan dengan tegas mengenai letak partisipasi masyarakat. Namun dikarenakan MK melihat pada peristiwa pembentukan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 yang tidak menampakkan partisipasi public di dalamnya, MK meminta kepada DPR RI untuk mempertegas mengenai pengaturan partisipasi publik yang mana partisipasi public harus diadakan pada setiap tahapan pembentukan peraturan perundang-undangan.
Inkonstitusionalitas Formil sebagai Senjata Makan Tuan
Walaupun seluruh rekomendasi MK telah diakomodasi dalam perubahan, penulis merasa bahwa UU ini memiliki permasalahan terkait dengan formalitas konstitusional. Fakta menarik dalam undang-undang ini adalah waktu pembentukan undang-undang yang terkesan cepat (waktu pembicaraan tingkat I (satu) hanya dilakukan dalam jangka waktu 6 (enam) hari) serta risalah sidang yang tertutup bagi publik.
Jika kembali pada putusan MK Nomor 91/PUU-XVIII/2020, perubahan kedua undang-undang ini hakikatnya bertentangan dengan prinsip yang ada dalam UUD 1945. Hal ini dengan mendasarkan pada pertimbangan MK yang menyatakan bahwa partisipasi publik dan transparansi pembentukan undang-undang merupakan bagian yang tak terpisahkan dalam prinsip negara hukum yang mana secara tegas telah dianut dalam UUD NRI 1945.
Dalam pandangan Barry M. Hagger, hakikat negara hukum dalam membahas sebuah pembentukan hukum harus memperhatikan daripada aksesibilitas dan transparansi. Hal ini diperlukan agar masyarakat dapat berpartisipasi untuk menjadikan Undang-undang tersebut sesuai dengan kebutuhan masyarakat.
Keunikan yang akan terjadi apabila dilakukan uji formil terhadap Undang-undang PPP ini adalah UU ini dapat dibatalkan dengan dasar yang ada dalam UU ini sendiri. Penulis mendasari logika ini karena apabila mengkaji dari putusan MK Nomor 91/PUU-XVIII/2020, UU PPP dijadikan dasar pertimbangan hukum yang menjadi dasar pertimbangan yang sama untuk menyatakan inkonstitusionalitas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja (Ciptaker).
Jika Perubahan kedua Undang-Undang tentang Pembentukan Perundang-undangan diuji secara formil, maka MK mau tidak mau dengan pertimbangan hukumnya tentang partisipasi masyarakat dengan pertimbangan hukum yang sama akan menyatakan inkonstitusionalitas Perubahan kedua Undang-Undang tentang Pembentukan Perundang-undangan.
Terlebih lagi, dikarenakan putusan MK berlaku erga omnes, inkonstitusionalitas dengan pertimbangan hukum yang sama merupakan hal yang tidak terhindarkan bagi Perubahan Undang-Undang tersebut.
Melihat potensi inkonstitusionalitas formil perubahan Undang-undang PPP, MK dapat dipastikan menilai bahwa Undang-Undang ini inkonstitusional, sehingga seluruh pengaturan dalam UU PPP batal dan tidak berlaku lagi. Namun penulis menganggap bahwa ketidakikutsertaan masyarakat serta tidak transparanya pembentukan undang-undang ini tidak mempengaruhi kualitas materi dalam UU PPP.
Penulis menyatakan demikian dengan alasan bahwa UU ini telah mempertegas pasrtisipasi masyarakat dengan baik. Selain itu pengadopsian Omnibus Law dalam UU ini telah diatur dengan baik dan menjadi instrument pengaturan yang penting dalam pembentukan peraturan perundang-undangan lainya. Sangat disayangkan apabila MK langsung menyatakan UU ini inkonstitusional secara formil. MK hakikatnya membuat putusan yang sama seperti saat menguji UU Ciptaker, karena penulis menganggap bahwasanya secara materil UU ini sudah sangat baik dan penting untuk diadakan dalam rangka pengaturan pembentukan peraturan perundang-undangan.
Daftar Pustaka
Buku
Hager, Barry M. 2000, The Rule of Law/ A Lexicon for Policy Makers, The Mansfield Center for Pacific Affairs.
Laksono, Fajar. 2013 Implikasi dan Implementasi Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 5/PUU-X/2012 tentang Sekolah Bertaraf Internasional (SBI)/ Rintisan Sekolah Bertaraf Internasional (RSBI), Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia.
Peraturan Perundang-Undangan dan Putusan Pengadilan
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
Undang-Undang tentang Perubahan kedua atas Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan
Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan
Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 91/PUU-XVIII/2020