Kelebihan penghuni di lapas (overcrowded) menjadi masalah serius di Indonesia saat ini. Sejalan dengan hal tersebut, World Prison Brief (WPB) merilis bahwa, jumlah narapidana di Indonesia terus meningkat dalam satu dekade terakhir. WPB mencatat jumlah narapidana di Indonesia sudah mencapai sekitar 249 ribu orang pada 2020, sedangkan kapasitas penjara secara nasional hanya sekitar 132 ribu. Per 3 Mei 2022, WPB menilai tingkat keterisian penjara atau lembaga pemasyarakatan (lapas) di Indonesia sudah mencapai 208%, dan menjadi yang tertinggi ke-21 dari 207 negara di seluruh dunia (databoks.katadata.co.id, 2022).
Penyebab terjadinya overcrowded tidak lain diakibatkan oleh adanya kasus yang diselesaikan secara litigasi (pengadilan). Akibat dari kondisi ini harusnya ada semacam alternatif penyelesaian sengketa yang lebih mengedapankan pemulihan daripada membawanya ke pengadilan.
Salah satu penyelesaian perkara pidana yang paling dapat ditempuh secara non litigasi adalah restorative justice. Eksistensi restorative justice dalam sistem peradilan pidana di Indonesia bukanlah hal baru. Karena itu diskursus keadilan restoratif pada penguatan peran korban dalam sistem peradilan pidana penting untuk diletakkan karena dalam praktik Sistem Peradilan Pidana terdapat kecenderungan dalam mengabaikan kepentingan korban.
Mardjono Reksodiputro berpendapat bahwa kejahatan harus dipandang sebagai bentuk dari konflik sosial, dengan pemikiran seperti itu, meredusir konflik sosial membuat kejahatan dapat dikurangi.
Restorative Justice Sebagai Win-Win Solution