Selain memenuhi dan menjamin hak warganya, negara juga harus menghargai apa yang menjadi kepercayaan dan nilai-nilai yang dianut warganya dan menjadi pelindung agar warganya merasa aman dalam menjalankan hak-haknya tersebut. Kemudian hal tersebut merupakan prinsip pertanggungjawaban negara terhadap Hak Asasi Manusia (HAM) yaitu, to respect (menghargai), to protect dan to fulfill (memenuhi). Sesuai yang diamanatkan konstitusi juga undang-undang dibawahnya yang memiliki korelasi terhadap pemenuhan terhadap HAM.
Perihal perkawinan atau penikahan adalah merupakan hak warga negara sesuai pada Pasal 28B ayat (1) UUD NRI 1945 yang berbunyi “Setiap orang berhak membentuk keluarga dan melanjutkan keturunan melalui perkawinan yang sah.” Lalu muncul pertanyaan apakah hak bagi warga negara tersebut berlaku bagi semua warga negara? Lalu, akan memunculkan pertanyaan lainnya yakni bagaimana bila ada seorang warga binaan lembaga pemasyarakatan yang sedang dalam masa pemidanaannya ingin melangsungkan atau menjalankan haknya untuk membentuk keluarga dan melanjutkan keturunan dalam hal ini melalui pernikahan? Sehingga apabila kita mengacu pada Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan pada Pasal 14, terdapat hak-hak yang dimiliki oleh warga binaan/narapidana yaitu:
Narapidana berhak:
- melakukan ibadah sesuai dengan agama atau kepercayaannya;
- mendapat perawatan, baik perawatan rohani maupun jasmani;
- mendapatkan pendidikan dan pengajaran;
- mendapatkan pelayanan kesehatan dan makanan yang layak;
- menyampaikan keluhan;
- mendapatkan bahan bacaan dan mengikuti siaran media massa lainnya yang tidak dilarang;
- mendapatkan upah atau premi atas pekerjaan yang dilakukan;
- menerima kunjungan keluarga, penasihat hukum, atau orang tertentu lainnya;
- mendapatkan pengurangan masa pidana (remisi);
- mendapatkan kesempatan berasimilasi mengunjungi keluarga;
- mendapatkan pembebasan bersyarat;
- mendapatkan cuti menjelang bebas; dan
- mendapatkan hak-hak lain sesuai perundang-undangan yang berlaku.
- Ketentuan mengenai syarat-syarat dan tata cara pelaksanaan hak-hak Narapidana sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.
Secara tekstual, hak untuk menikah memang tidak diatur dalam UU tersebut namun dapat kita kategorikan hak untuk menikah tercantum dalam Pasal 14 ayat 1 huruf (a) dimana warga binaan atau narapidana berhak “melakukan ibadah sesuai dengan agama atau kepercayaannya”. Karena di negara Indonesia, kawin atau menikah merupakan perintah atau anjuran pada hampir semua agama yang diakui Indonesia.
Namun secara pasti, tata cara pelaksanaan dan persyaratan guna melakukan pernikahan pada warga binaan yang sedang menjalankan masa pemidanaan belum penulis temukan. Tetapi kita dapat merujuk kepada pernyataan dari Dapat Sembiring (Kepala Bidang Pembinaan Lapas Semarang), dimana beliau mengatakan bahwa “Pernikahan merupakan salah satu hak dari narapidana. Izin pernikahan akan diberikan apabila syarat administrasi narapidana yang hendak menikah lengkap. Kelengkapan menikah di Lapas harus disertakan surat permohonan dan jaminan keluarga, serta surat keterangan hendak menikah dari kantor kelurahan dan KUA setempat.”
Kemudian Andi Rahmanto, (Kepala Seksi Bimbingan Kemasyarakatan), menjelaskan, “Persetujuan menikah ini berdasarkan hasil Sidang Tim Pengamat Pemasyarakatan (TPP) atas permohonan pernikahan dari pihak keluarga selaku penjamin. Selain itu, sebagaimana yang tercantum dalam ditjenpas.go.id juga menyatakan “Pernikahan ini dilakukan sesuai hasil keputusan TPP yang menyetujui pengajuan permohonan hendak nikah yang bersangkutan.”
Dapat dikatakan bahwa pernikahan memang menjadi hak bagi setiap warga negara, tak terkecuali bagi warga negara yang sedang menjalani masa pemidanaan sebagai narapidana. Kemudian terkait sejauh mana pemerintah mampu memberikan fasilitas guna kehidupan setelah pernikahan ini juga perlu diperhatikan. Karena hal ini menjadi penting guna keberlangsungan pernikahan pada setiap warga negara dan pelaksanaan hak dan kewajiban antara suami dan istri, seperti yang diamanatkan didalam UU 1 Tahun 1974, pada pasal 33 dikatatakan bahwa, “ Suami isteri wajib saling cinta-mencintai, hormat-menghormati, setia dan saling memberi bantuan lahir batin yang satu kepada yang lain”.