Walaupun sudah berstatus tersangka Ahok tidak dipenjara melainkan hanya ditahan paspornya agar tidak bisa berpergian ke luar negeri. Akibat hal tersebut, membuat masyarakat geram dan selanjutnya GNP MUI selaku penyelenggara dari aksi bela Islam II menyatakan akan mengadakan aksi kembali pada tanggal 2 Desember 2016 (Aksi 212). Dan Habib Rizieq Shihab selaku pimpinan FPI memastikan bahwa aksi yang selanjutnya akan dilakukan secara super damai karena diadakan dalam bentuk ibadah.
Karena banyaknya respon dari berbagai pihak terkait aksi yang akan diadakan, maka Kapolri Tito Karnavian mengatakan bahwa beliau secara tegas akan memberi izin untuk aksi tersebut. Aksi 212 juga dihadiri oleh sejumlah tokoh penting salah satunya adalah Presiden Jokowi. Tuntutan masyarakat pada aksi tersebut tidak berbeda jauh dengan tuntutan pada aksi-aksi sebelumnya, yaitu agar Ahok selaku Gubernur DKI Jakarta untuk mundur dari jabatannya selaku Gubernur, dan mundur juga sebagai Calon Gubernur pada Pemilihan Gubernur (Pilgub) yang akan datang. Hingga pada bulan Mei 2017 Ahok divonis 2 tahun penjara oleh majelis hakim Pengadilan Negeri Jakarta Utara. Majelis hakim menilai bahwa Ahok melanggar Pasal 156 huruf a KUHP.
Dari serentetan aksi yang dilakukan sebagai reaksi dari pernyataan Ahok yang dinilai telah menistakan agama Islam, menguatkan opini bahwa aksi yang dilakukan tersebut bukan hanya murni masalah agama tetapi juga terdapat unsur kepentingan politik dari pihak-pihak yang suka memanfaatkan situasi. Banyak yang tidak menyukai cara Ahok dalam memimpin, dikarenakan pada saat Ahok menjabat, banyak kasus korupsi yang terungkap, dan juga Ahok berani menegur dan memarahi kinerja buruk dari pejabat yang masih didalam lingkup wilayah DKI Jakarta. Jelas terdapat pihak-pihak yang tidak menyukai Ahok, dan mereka mencoba untuk menghancurkannya dengan delik penistaan agama.
Aksi bela Islam ini sejatinya merupakan aksi damai yang bagi sebagian orang adalah hal yang seharusnya tidak mungkin karena mampu menyatukan sekelompok orang dari berbagai daerah. Jika dikatakan bahwa aksi tersebut adalah sebuah gerakan yang diselimuti oleh agenda politik, memang masih masuk akal karena aksi tersebut bertujuan untuk menuntut Ahok agar mundur dari jabatannya sebagai gubernur dan meminta Ahok untuk tidak maju dalam kontestasi politik DKI Jakarta yang akan dilaksanakan dalam waktu dekat nanti.
Tetapi menjadi tidak beralasan jika aksi 212 dikatakan sebagai aksi atau gerakan anti Pancasila. Karena sebelumnya banyak pihak yang menggembar-gemborkan isu bahwa FPI selaku pimpinan dan komando dalam aksi tersebut mempunyai tujuan dan cita-cita bahwa nantinya sangat ingin menjadikan negara Indonesia menjadi negara Khilafah Islamiah atau negara Islam.
Memang pada masanya saat seluruh negara Islam menjadi satu kesatuan dalam Khilafah Islamiah, terjadi kemajuan pesat dalam segala bidang kehidupan seperti Ilmu Pengetahuan, Kedokteran, Astronomi dan lain-lain. Untuk sekarang dengan kondisi Indonesia yang beragam ini saya rasa impian segelintir pihak (Islam garis keras) untuk membentuk suatu pemerintahan Khilafah Islamiah hanyalah sebagai Utopia semata.
Dengan segala bentuk disparitas (perbedaan) yang ada di negeri ini, memang paling pas dan klop jika pancasila sebagai kompas kita dalam menjalankan hidup agar nilai-nilai dasar yang terkandung dalam pancasila dapat terwujud sesuai dengan apa yang dicita-citakan oleh para pembangun bangsa ini. Kasus yang dialami oleh Ahok adalah kasus besar yang menjadi topik utama berita diberbagai stasiun televisi beberapa negara di dunia.
Banyak yang menyoroti kasus Ahok sebagai korban dari UU penistaan agama di Indonesia. Sejatinya memang perlu dilakukan upaya hukum terhadap kasus Ahok tersebut, agar tidak ada lagi kasus-kasus serupa yang muncul. Karena negara Indonesia adalah negara hukum seperti yang tertuang pada pasal 1 ayat (3) UUD 1945.
Bangsa Indonesia adalah bangsa yang besar dengan keberagamannya sendiri yang membuat bangsa Indonesia berbeda dengan bangsa lainnya. dan Bangsa Indonesia adalah milik semua golongan. Bukan hanya milik Islam sebagai mayoritas, bukan hanya milik Kristen, Katolik, Hindu, Budha, dan Konghucu. Tetapi milik bersama sama seperti semboyan negara kita Bhineka Tunggal Ika.
Perbedaan itulah yang membuat kita menjadi bangsa yang besar. Dengan perbedaan itu, kita tumbuh dan berkembang bersama. Namun akhir-akhir ini kita sering melihat bahwa politik selalu mencampuri dan masuk jauh dalam segala aspek kehidupan. Misalnya saja dalam masalah agama, agama seringkali dijadikan alat untuk meraih kekuasaan seperti kasus Ahok yang melahirkan aksi-aksi besar. (Aslati, 2012)