Setelah hampir 20 tahun UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945 hasil perubahan diberlakukan, sudahkah kedaulatan sudah benar-benar berada ditangan rakyat atau telah mengantarkan rakyat lebih sejahtera dalam berpolitik dan segi ekonomi? Rakyat menaruh harapan yang besar kepada para pemimpin negara yang dipilihnya.
Salah satunya menginginkan menurunnya angka kemiskinan yang ada di negara kita dan terbukanya lapangan kerja bagi seluruh rakyatnya tidak hanya golongan tertentu saja seperti yang dijanjikan para pemimpin negara sewaktu kampanye. Pemerintah yang dipilih melalui pemilihan umum yang dipilih oleh rakyat benarkah mengabdi untuk rakyat dan menjalankan pemerintahan secara adil. Jika kita lihat perbaikan itu memang benar adanya tetapi perbaikan itu hanya sebagian kecil dari harapan kita yang cukup besar.
Pada 19 Oktober 1999, MPR telah mengubah 9 pasal untuk membatasi presiden agar tidak berkuasa dalam jangka waktu yang lama, sebagaimana yang terjadi pada Pemerintahan Orde Baru. Pada 18 Agustus 2000, 25 pasal yaitu memberikan peran lebih lebih kepada daerah, menguatkan peran DPR sebagai lembaga legislative dan memperluas cakupan pasal-pasal yang berhubungan dengan penyelenggaraan HAM. Pada 9 November 2001, ada 23 pasal yaitu mengatur posisi lembaga negara dan mengakomodir kehadiran lembaga MK. Selanjutnya pada 10 Agustus 2002, mengubah 13 pasal, 3 pasal Aturan Peralihan dan 2 lagi Aturan Tambahan yaitu meneruskan pembahasan di fase sebelumnya.
Dapat kita lihat dalam 10 tahun terakhir demokrasi dilakukan secara berkala. Pelaksanaan pemilihan umum yang rakyat ikuti dalam pemilihan pemimpin negara, rakyat ikut terlibat dalam proses politik yang menelan biaya yang tidak sedikit untuk menentukan siapa yang menjadi pemimpin politik di lembaga eksekutif dan juga lembaga legislatif yang memperoleh legitimasi dari rakyat itu sendiri. Kesannya, rakyat hanya menjadi penentu dalam merekrut pemimpin nasional, namun kenyataannya rakyat hanyalah mimilih calon yang sudah disediakan oleh partai-partai politik atau elit politik secara perseorangan.
Bisa kita simpulkan ini hanyalah permainan politik untuk menarik simpatik masyarakat. Setelah pemilihan umum berakhir dan sudah dipilihnya siapa saja yang menjadi bagian kepemimpinan negara ini, semua berada ditangan para aktor politik pilihan masyarakat yang pada saat kampanye mereka lantang menyuarakan akan berjuang untuk rakyat dan demi kesejahteraan rakyat.
Pasca perubahan UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945 presiden dan wakil presiden dipilih secara langsung oleh rakyat, presiden yang terpilih yang mendapat dukungan dari mayoritas rakyat ternyata berbanding terbalik dengan apa yang ada di DPR, mayoritas kursi DPR tidak mendukung presiden dan wakil presiden terpilih. Hal ini yang dapat memudahkan negara kita menjadi terpecah atau mudah goyah. Sebagai partai koalisi tidak sepenuhnya dapat mendukung kebijakan presiden, karena masing-masing memiliki kepentingan untuk melakukan investasi politik yang bertujuan menyongsong pemilihan umum di masa yang akan datang.
Jika kita melihat setelah perubahan UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945, sebelum reformasi kekuasaan lebih besar terhadap lembaga eksekutif, kini kekuasaan lebih besar besar ke lembaga legislatif. Sehingga kekuasaan DPR kini sangat kuat. DPR lah yang berperan dalam menentukan anggaran pemerintah, dalam pembentukan undang-undang, merekrut jabatan publik. Serta Dewan Perwakilan Rakyat yang mengawasi jalannya pemerintahan. Kuatnya lembaga legislatif dalam mengontrol pemerintahan di negara kita. Dengan menyebarnya kekuasaan secara vertikal dan secara horizontal maka korupsi, nepotisme, dan kolusi ikut membesar mengikuti kekuasaan tersebut.
Sangat banyak ditemukan pada saat ini pejabat di lingkungan eksekutif, legislatif, dan juga yudikatif di pemerintahan pusat dan juga pemerintahan daerah yang terseret ke meja hijau. Akan tetapi, catatan kinerja Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan kepolisian yang masih belum bekerja dengan optimal. Untuk para penegak hukum dan hak asasi manusia juga belum bekerja dengan memuaskan di mata rakyat. Adanya mafia hukum, makelar kasus, perang antara pihak kepolisian dan Komisi Pemberantasan Korupsi yang dikenal “cicak dan buaya” mencemari dunia peradilan itu sendiri. Oleh karena itu, Presiden merasa perlu membentuk Satuan Tugas untuk memerangi atau memberantas mafia hukum.
Meski terlalu dini masyarakat mulai bertanya-tanya, apakah Satuan Tugas yang dibentuk oleh presiden mampu memberantas para mafia hukum yang sudah menyebar luas dimana-mana yang telah menggerogoti pemerintahan kita dan membersihkan dunia peradilan dari penyakit yang telah lama telah merusak citra aparat penegak hukum. Belumlah tuntas penanganan mafia hukum kembali muncul mafia pajak dan mungkin masih banyak lagi mafia-mafia dalam hal lainnya.
Anda harus log masuk untuk menerbitkan komentar.