Samuel P. Huntington beranggapan bahwa, sama halnya dengan demokrasi, liberalisme, dan sekulerisme politik, HAM hanya bisa dimiliki oleh Barat. Baginya, agar peradaban lain dapat menerima HAM, peradaban tersebut harus terbuka dan menerima esensi nilai-nilai Barat dan perlahan beralih kepada peradaban Barat (Heiner Bielefeld, 2000). Senada dengan Huntington, para penganut relativisme kultural seperti Polis dan Schwab pun dengan tegas menolak universalisme HAM, karena secara historis HAM terikat dan terbatas pada konsep-konsep kultural dan filosofis tradisi Oksidental (Abdi, 2002).
Pandangan lainnya dikemukakan oleh para cendekiawan Muslim yang disebut sebagai kelompok Rejectionists yang mendasarkan pandangannya terhadap Syari’ah. Kelompok rejectionists ini berpandangan bahwa Syari’ah bersifat sakral dan satu-satunya nilai yang harus diterapkan, sehingga nilai-nilai lain selain Syari’ah harus ditolak termasuk HAM didalamnya. Penolakan kaum muslimin pun didasari pada penilaian yang negatif dan konfrontatif terhadap Barat. Dalam penilaian mereka, sejarah Barat sendiri banyak dinodai oleh praktik-praktik yang menodai HAM (Ihsan, 1999).
Pandangan Kedua: Islamisasi HAM
Pandangan ini tentu hanya dimiliki oleh kaum Muslim saja, khususnya mereka yang setuju terhadap nilai-nilai HAM yang diproduksi oleh Barat namun tetap berpegang teguh pada Syariah sebagai sistem nilai yang utama dalam landasan hidup. Dengan pandangan ini, mereka menerima konsep HAM modern, namun menolak paham sekulerisme yang ada di dalamnya dan menggantinya dengan Syariah. Menurut pendapat Bassan Tsibi, pandangan ini disebut sebagai “Islamisasi Deklarasi HAM PBB” (Ihsan, 1999).
Hal yang senada dapat ditemukan pada Deklarasi Kairo tentang HAM dalam Islam yang diumumkan pada 1990 bahwa segala unsur HAM dihargai tinggi, tapi seluruhnya harus tunduk pada Syari’ah (Pasal 24) dan satu-satunya acuan adalah Syari’ah Islam (Pasal 25). Dengan kata lain, deklarasi ini mengkonfigurasi HAM pada Syari’ah Islam, seperti yang terdapat pada Pasal 22 bahwa hak-hak politik seperti kebebasan berpendapat dibatasi dengan berbagai ketentuan agar tidak bertentangan dengan nilai-nilai Syari’ah.
Pandangan Ketiga: HAM sebagai Khazanah Kemanusiaan Universal
Berbeda dengan dua pandangan sebelumnya yang diwarnai dengan kontroversi dan perselisihan, pandangan ini menaruh pijakannya terhadap universalisme HAM sebagai konsensus lintas budaya. Oleh karena itu, sumber nilai akan universalisme HAM dapat ditemukan di berbagai sistem nilai, tradisi, dan agama, termasuk Islam di dalamnya. Ide utama yang dapat menyatukan HAM dengan berbagai budaya adalah martabat manusia (Human Dignity), karena pada dasarnya seluruh sistem nilai dan budaya di dunia menaruh penghormatan yang tinggi terhadap martabat manusia, sehingga HAM sebagai khazanah kemanusiaan universal mendapat justifikasi dari berbagai sistem nilai dan agama di dunia.
Pandangan ini dijelaskan dengan baik oleh Heiner Bielfeldt, bahwa memang sulit menyangkal fakta adanya HAM yang muncul pertama kali di Eropa dan Amerika Utara (Barat), namun fakta historis tidak secara langsung merumuskan HAM terikat secara ekslusif dengan kebudayaan dan filsafat Barat dan hanya bisa diterapkan dalam masyarakat Barat. Terdapat dua alasan yang turut menopang pendapat Bielfeldt:
- Pertama, konsep HAM secara politis muncul dalam suasana revolusi dan sering kali mendapat perlawanan dari budaya barat tradisional yang sudah mapan, seperti Gereja. Fakta ini menyangkal asumsi bahwa HAM adalah produk “organik” kebudayaan dan sejarah Oksidental.
- Kedua, HAM tidak mengakar dan terbatas pada budaya Barat tertentu. Meskipun mempunyai asal-usul Barat, HAM secara historis berkaitan dengan pengalaman pluralisme radikal yang telah menjadi realitas sosial di seluruh dunia. Dengan pandangan ini, universalisme HAM bukanlah sebuah pemaksaan global terhadap serangkaian nilai-nilai Barat, namun merupakan pengakuan terhadap pluralisme dan perbedaan-perbedaan agama, budaya, serta keyakinan yang ada di dunia sejauh perbedaan tersebut mendorong potensi yang tak terhingga bagi peradaban manusia (Heiner Bielefeld, 2000).
Overlapping Consencus : HAM sebagai Konsensus Lintas Budaya
Dalam merespon dialektika dalam kajian HAM terkait universalisme versus relativisme budaya, seyogyanya tidaklah berpandangan seperti rejectionist, esensialis, maupun relativis, karena HAM sepatutnya tidak dihapami sebagai konsepsi khas Barat atau khas Islam. Secara historis telah terbukti bahwa HAM tidak pernah menjadi produk organik suatu kebudayaan, sehingga segala upaya esensialis kultural seperti “pembaratan” atau “pengislaman” HAM harus ditolak (Abdi, 2002). Namun bukan berarti aspek budaya menjadi tidak penting, persoalannya adalah bagaimana menciptakan harmoni antara HAM, budaya, dan agama sehingga tidak terjebak pada kesesatan kulturalis.
Salah satu upaya yang dapat dilakukan untuk melakukan harmonisasi tersebut adalah dengan memahami HAM sebagai “konsensus tumpang-tindih” atau Overlapping Consencus. Overlapping Consencus pertama kali dikemukakan oleh John Rawls yang berarti konsensus normatif praktis tentang keadilan hukum dan politis dalam sebuah masyarakat demokratis yang plural.