Disadari atau tidak, diskursus mengenai Hak Asasi Manusia (HAM) dewasa ini menyeruak di berbagai belahan dunia sebagai respon terhadap perkembangan zaman yang dinamis. Dalam dialektika yang hangat, terdapat perdebatan paradigmatik-filosofis dalam khazanah kajian HAM mengenai universalisme dan relativisme budaya sebagai kompas penentu arah kebijakan perwujudan HAM oleh negara terhadap rakyatnya. Perdebatan ini tak lepas dari ambiguitas sikap dan posisi agama terhadap HAM.
Di satu sisi, agama secara normatif memberikan pondasi yang kuat atas berbagai konsep HAM modern, seperti hak manusia yang tak tersangkal (inalienable) yang ditopang oleh ajaran agama tentang kesucian (sacredness) atau martabat (dignity) manusia (Stackhouse, 1998). Sedangkan gagasan kesetaraan bersumber pada ajaran bahwa seluruh manusia adalah setara dan berasal dari sumber yang sama (Perry, 1998). Namun di sisi lain, secara historis-empiris terdapat banyak bukti yang menunjukan bahwa adanya legitimasi agama melalui penafsiran umatnya terhadap berbagai perlanggaran HAM seperti perbudakan, kekerasan, diskriminasi, dan berbagai bentuk penindasan lainnya (Henkin, 1998).
Tanpa mengabaikan gemuruh perbincangan HAM dengan agama-agama lain, dapat dikatakan bahwa hubungan Islam dan HAM mendapat perhatian yang lebih besar dan menimbulkan kontroversi dari berbagai dimensi, baik dunia internasional maupun internal umat Islam itu sendiri. Riuhnya berbagai perbincangan mengenai HAM dan Islam yang sering menuai kontroversi disebabkan oleh beberapa alasan spesifik sebagai berikut ini:
Pertama, HAM yang lahir dan mendapat makna konkretnya pada Deklarasi Universal HAM (DUHAM) Perserikatan Bangsa-Bangsa didasarkan pada asumsi pokok yang di belakangnya berdiri paham sekularisme (Abdi, 2002). Bukti konkrit atas asumsi sekularistik ini berasal dari tidak adanya landasan filosofis atau agama yang menjadi rujukan dalam deklarasi tersebut (Ashild Samnoy, 1999). Wacana HAM dalam deklarasi tersebut memandang manusia dari kaca mata sekulerisme, bahwa hukum seolah berdiri secara independen, lepas dari dogma-dogma agama manapun.
Kedua, kontroversi antara Islam dan HAM juga timbul dari perbedaan nilai-nilai kemanusiaan yang terkandung dalam HAM dengan Syari’ah, atau lebih tepatnya tafsiran tradisional terhadap Syari’ah. Menurut Heiner Bielefeldt, kontroversi dan pertentangan yang terjadi antara Islam dan HAM tak mengherankan, karena secara historis gagasan HAM yang mengandung prinsip emansipatoris baru lahir di zaman modern. Sementara di sisi lain, Syari’ah lahir jauh lebih dulu tepatnya pada masa kejayaan sejarah Islam (Heiner Bielefeldt, 1995). Ketegangan antara kedua aturan normatif tersebut terlihat dengan sangat jelas pada persoalan kebebasan gender dan kebebasan beragama.
Ketiga, perselisihan dalam masalah hubungan Islam dan HAM tak terlepas dari hubungan konfliktual yang dimiliki Islam dan Barat. Sulit dipungkiri bahwa hubungan antara Islam dan Barat selama ini masih sering diwarnai sikap saling mencurigai dan memusuhi (Abdi, 2002). Madjid Tehranian dalam Islam and the West: Alienation, Provocation and Revivalism mengungkapkan bahwa hubungan Islam dan Barat “have never been a model of harmony” (Malik, 1997). Hubungan harmonis antara kedua hal tersebut nampaknya masih sulit terjadi, dikarenakan menurut pendapat Fahmi Huaidi, “the West sees no need for it and Muslims are not ready for it” (Anthony T. Sullivan, 1997).
Tiga Varian Pandangan terhadap HAM
Dengan dilatarbelakangi oleh tiga sebab pertentangan Islam terhadap HAM yang telah dikemukakan di atas, diskurus mengenai Islam dan HAM diwarnai dengan berbagai pandangan yang sangat kompleks bahkan berlawanan satu sama lain. Secara garis besar, terdapat tiga varian pandangan mengenai hubungan Islam dan HAM baik yang dikemukakan oleh para sarjana Barat maupun cendekiawan muslim, antara lain:
Pandangan Pertama: Islam Tidak Sesuai dengan Gagasan HAM Modern
Dalam pandangan ini, para sarjana Barat dan cendekiawan Muslim berdiri pada alasan fundamental yang berbeda. Para sarjana Barat memegang pandangan ini umumnya berangkat dari asas esensialisme dan relativisme kultural. Esensialisme merupakan paham yang menegaskan bahwa setiap gagasan atau konsep pada dasarnya bersumber dari suatu sistem nilai, tradisi, atau peradaban tertentu (Heiner Bielefeld, 2000). Sementara itu, relativisme kultural merupakan paham yang menjelaskan bahwa suatu gagasan atau konsep yang berasal dari suatu sistem nilai tertentu tidak bisa diterapkan pada sistem nilai yang berbeda.