Dalam suatu kasus seorang pengacara tidak dapat mendapatkan hak imunitasnya dikarenakan pengacara telah melakukan tindak pidana seperti pada kasus yang pernah terjadi pada Juli 2019 dimana terdapat kasus penyerangan aparat penegak hukum oleh seorang pengacara berinisial D di dalam ruang persidangan Pengadilan Negeri Jakarta.
Pengacara D dimintai oleh kliennya yang berinisial T untuk menyelesaikan perkara perdata di Pengadilan Negeri Jakarta dengan imbauan untuk tetap taat dan mematuhi peraturan hukum yang berlaku. Namun, saat hakim hendak membacakan putusan terhadap gugatan kasus perdata pendakwa inisial T, pengacara D berdiri mendekati hakim dan menyerang majelis hakim menggunakan ikat pinggang. Bukan hanya hakim ketua, hakim anggota 1 juga terluka akibat penyerangan itu. Keduanya mengalami luka di kepala dan segera dilarikan untuk melakukan visum di rumah sakit terdekat.
Kasus penganiayaan ini pun ditangani oleh Polres Metro Jakarta Pusat. Pihak Pengadilan Negeri Jakarta langsung melakukan koordinasi dengan Mahkamah Agung terkait apa langkah yang harus ditempuh dalam menyikapi kasus penyerangan ini. Kuasa hukum pengacara D mengatakan bahwa hakim diduga melakukan praktik hukum dengan cara yang tidak semestinya sehingga membangkitkan amarah pengacara D. Namun, benar atau salahnyanya perilaku hakim, tindakan kekerasan tidak seharusnya dilakukan oleh seorang pengacara yang profesional dan bertanggungjawab untuk patuh terhadap kode etik profesinya.
Hal yang melatarbelakangi perbuatan yang dilakukan pengacara D adalah adanya ketidakadilan pelaksanaan praktik hukum sehingga melukai rasa keadilan bagi klien pengacara D saat majelis hakim tidak memasukkan dua bukti berupa putusan hukum tetap dalam mempertimbangkan putusan hukumnya. Kuasa hukum pengacara D juga mengutarakan bahwa yang diserang dalam kasus penyerangan ini adalah pihak hakim, bukan untuk menyerang lembaga peradilan.