Selembar dua lembar mahar politik tak akan bisa membayar harga sebuah kebaikan semesta. Semesta terlalu baik untuk tercemar dan diporandakan oleh relasi kuasa manusia terhadap alam dengan keserakahannya. Salah satunya adalah tentang nasib hutan, semakin kesini, semakin miris dalam kikis, menyisa gelar untuk negeri ini-negeri megabiodiversiti, dengan rerimbun hutan tropis yang kaya raya, bejibun flora fauna-katanya.
Mungkin, dalam benak kita bertanya-tanya. Apa kaitan rusaknya lingkungan, dan/atau terkikisnya luasan hutan dengan uang mahar dalam politik. Mengapa ujung-ujungnya selalu gara-gara hiruk pikuk politik.
Mari kita kulik hubungan erat antara politik uang dan nasib hutan kita, hutan dengan segala fungsi ekologisnya. Hutan sebagai paru paru bumi, sumber udara sehat yang kita hirup setiap hari.
Tak kalah penting, hutan merupakan sumber kehidupan bagi makhluk hidup lainnya, bukan hanya manusia. Hutan juga menjadi habitat bagi banyak spesies yang memiliki hak asasi untuk kebertahanan hidup dan pemeliharaan kelestariannya.
Sampai di sini, jika masih ada yang menganggap remeh fenomena hilangnya luasan hutan atau yang lebih dikenal dengan istilah deforestasi, maka mari kita runtut bersama, imbas apa lagi yang akan atau bahkan telah terjadi.
Dilaporkan bahwa deforestasi telah menyumbang emisi karbon (emisi toksik) sebesar 80% untuk bumi (Angelsen dan Kanounnikoff, 2010; FWI, 2014; UNDP, 2013). Prediksi kajian Kementerian Lingkungan Hidup tahun 2009 menaksir tingkat emisi GRK di Indonesia bahkan akan terus meningkat sampai tahun 2020 (FWI, 2014). Nah, siapa yang mau terus menerus menghirup udara yang terkontaminasi emisi berbahaya?