Keadilan restoratif muncul karena alasan perubahan pendekatan dalam penghukuman. Perubahan ini berupa peralihan penghukuman yang sifatnya mengurung kebebasan di balik jeruji besi berubah menjadi upaya restorasi yang mengedepankan harmonisasi masyarakat. Perubahan hukum pidana ini dipengaruhi oleh realitas logis yang moralis sekaligus manusiawi.
Namun, perubahan paradigma ini sebenarnya pada titik yang sama merupakan sebuah otokritik yang perlu digulirkan dalam kaitannya dengan penerapan hukum pidana perlu digulirkankan dalam kaitannya dengan penerapan hukum pidana dinamis karena dalam konteks ini spirit hukum pidana menjadi bias oleh karena tidak terjaminnya pencapaian efek jera atau detterent effect dalam sebuah proses pencarian keadilan atas suatu perilaku tindak pidana.
Restorative justice di Indonesia awalnya muncul sebagai bentuk keprihatinan masyarakat hukum terhadap penerapan sanksi pidana bagi anak-anak yang melakukan kejahatan. Penyelesaian suatu kasus pidana ditempuh melalui jalur non litigasi agar meminimalisir pengaruh negatif penerapan sanksi pidana bagi masa depan anak. Walaupun demikian pengaturan keadilan restoratif dalam UU Nomor 11 Tahun 2012 secara eksplisit tidak berlaku komprehensif karena kehadirannya bersifat komplementer terhadap penerapan hukum formil sistem peradilan pidana anak.
Pergeseran fungsi menjadi keadilan restoratif yang lebih luas digaungkan oleh Polri dalam penanganan kasus pidana sejalan dengan himbauan Menkopolhukam untuk mewujudkan masyarakat hukum yang harmonis (SIARAN PERS No: 250/SP/HM.01.02/POLHUKAM/11/2020).