Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP) seyogyanya menjadi bentuk usaha pembaruan hukum pidana di Indonesia. Keberadaan KUHP yang berlaku saat ini di Indonesia merupakan hasil adopsi dari hukum kolonial Belanda, Wetboek van Strafrecht, yang memiliki pasal-pasal yang sudah tidak relevan dengan kondisi masyarakat sekarang. Perubahan atas RKUHP perlu dilakukan secara adil dan sesuai dengan situasi kondisi masyarakat.
Sekarang ini, pasal penghinaan terhadap Presiden dan Pemerintah kembali dihidupkan dalam RKUHP. Padahal pasal-pasal tersebut telah termuat dalam KUHP dan secara berurutan dinyatakan inkonstitusional dalam Putusan MK Nomor 013-022/PUU-IV/2006 dan 6/PUU-V/2007. Kedua putusan MK itu menyebutkan bahwa dalam pembaruan KUHP sebagai warisan kolonial, tidak diperkenankan lagi memuat pasal-pasal penghinaan sejenis.
Apabila mencermati pasal-pasal penghinaan dalam RKUHP, tidak terlalu terdapat perubahan frasa sehingga perbedaannya tidak signifikan, khususnya dalam rumusan delik. Kecuali, pada dua aspek perubahan bentuk delik menjadi delik aduan dan juga perubahan lama penjara pidana.
Sebagai delik aduan, kasus hanya dapat diproses apabila telah dilakukan laporan atau aduan dari pihak korban sendiri. Pihak yang dapat melakukan aduan hanyalah Presiden/Wapres dan juga pemerintah yang mendapatkan penghinaan itu sendiri.
Kebebasan Berpendapat yang Dibatasi
Sebagai negara yang menjunjung hak asasi manusia, Indonesia memberikan kebebasan mengeluarkan pikiran dengan lisan dan tulisan dan sebagainya sebagaimana Pasal 28 UUD NRI 1945. Selain itu, Pasal 28E ayat (2) dan (3) menentukan bahwa setiap orang bebas menyatakan pikiran dan sikap sesuai hati nuraninya serta berhak atas berkumpul, berserikat, dan mengeluarkan pendapat.
Kebebasan berpendapat merupakan derogable rights atau hak-hak yang masih dapat dibatasi penggunaannya oleh negara dalam keadaan tertentu. Hak kebebasan berpendapat yang diberikan negara adalah hak yang memperhatikan hak-hak orang lain.