Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) Kelas I Tangerang, Blok C II mengalami kebakaran pada Rabu 8 September 2021 sekitar pukul 01.45 WIB. Kebakaran tersebut merenggut nyawa 41 warga binaan yang di antaranya terpidana kasus pembunuhan, terorisme, dan narkoba. Sementara itu, 81 warga binaan lainnya selamat dengan 72 orang luka ringan dan delapan orang luka berat dirawat di sejumlah rumah sakit. Pemerintah mengakui lalai atas insiden kebakaran tersebut. Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia (Menkumham) Yasonna Laoly mengatakan, Lapas Kelas I Tangerang yang sudah dibangun sejak 1972 ini justru kini melebihi kapasitas bahkan hingga 400 persen dengan penghuni 2072 orang.
Berdasarkan data Direktorat Jenderal Pemasyarakatan kapasitas Lapas pada tahun 2019 di seluruh Indonesia sekitar 125 ribu jiwa, tapi realisasinya dihuni oleh 249 ribu narapidana atau kelebihan kapasitas sebesar 99%. Berdasarkan data dari Mahkamah Agung sampai dengan bulan Mei 2021, Mahkamah Agung telah memproses 580.518 perkara pidana umum dengan putusan atas perkara pidana umum yang telah putus sebanyak 23.750 putusan.
Hal tersebut menunjukan bahwa masih banyak perkara pidana yang masuk ke pengadilan belum selesai akibat terlalu banyak perkara yang diselesaikan secara litigasi. Padahal, hal tersebut bisa diselesaikan cukup dengan jalur non litigasi dan pada akhirnya keadilan bagi para korban maupun pelaku masih tidak jelas.
Peristiwa di lapas over capacity tersebut maupun seperti yang sudah-sudah seharusnya tidak akan terjadi jika sejak awal pemerintah mengedepankan dan serius menerapkan restorative justice khususnya mediasi penal. Selama ini hukum pidana dijalankan aparat hukum secara normatif dan diproses secara konvensional yaitu selalu melalui jalur pengadilan.
Padahal hukum pidana merupakan ultimum remidium (upaya akhir) di saat terdapat opsi penyelesaian non litigasi. Opsi tersebur berupa mediasi yang pada umumnya ada di hukum perdata tetapi pada hakikatnya bisa diterapkan di hukum pidana terkait tujuan merestorasi/memulihkan pelaku pidana nantinya di masyarakat berdasarkan konsep restorative justice yang dituangkan secara substansi pada mekanisme mediasi penal.
Contoh penerapannya pada kasus anak dibawah umur, Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT), Hak Cipta dan Paten. Keadilan restoratif lebih menekankan pada penyelesaian masalah antar pihak dalam hubungan sosial daripada menghadapkan pelaku dengan aparat pemerintah/penegak hukum.
Secara umum perkara pidana yang biasa menggunakan jalur non litigasi adalah perkara yang diatur dalam ketentuan pada pasal 310 KUHP (penghinaan/pencemaran nama baik), pasal 311 KUHP (fitnah), Pasal 351 KUHP (penganiayaan), pasal 352 ayat (1) KUHP (Penganiayaan ringan), Pasal 359 KUHP (karena kealpaan menyebabkan matinya orang), pasal 372 KUHP (penggelapan), Pasal 378 KUHP (penipuan), pasal 285 KUHP (perzinahan), pasal 332 KUHP (melarikan gadis di bawah umur), dan 367 ayat (2) KUHP (pencurian yang dilakukan oleh anggota keluarga), maupun Pasal 156a KUHP (Penistaan Agama), serta delik pidana yang diatur di luar KUHP.
Tetapi, dalam Undang-Undang seperti UU No. 15 Tahun 2001 tentang Merek terkait pemalsuan merek, kekerasan dalam rumah tangga (UU Nomor 23 Tahun 2004 Tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga), terkait uang politik (UU No. 12 Tahun 2003 tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah).
Pasal 18 UU Nomor 2 Tahun 2002 Tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia menyebutkan:
“(1) Untuk kepentingan umum pejabat Kepolisian Negara Republik Indonesia dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya dapat bertindak menurut penilaiannya sendiri.
(2) Pelaksanaan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) hanya dapat dilakukan dalam keadaan yang sangat perlu dengan memperhatikan peraturan perundang-undangan, serta Kode Etik Profesi Kepolisian Negara Republik Indonesia.”
Dalam hal ini polisi membutuhkan penggunaan diskresi karena ia bukan hanya aparat penegak hukum, tetapi juga penjaga ketertiban yang bertugas menjaga kedamaian dan ketertiban secara umum.
Penyelesaian sengketa melalui jalur non-litigasi dalam bentuk mediasi memiliki keuntungan yaitu peroleh yaitu:
- Untuk mengurangi kemacetan dan penumpukan perkara (court congestion) di pengadilan. Banyaknya kasus yang diajukan ke pengadilan menyebabkan proses berperkara seringkali berkepanjangan dan memakan biaya yang tinggi serta sering memberikan hasil yang kurang memuaskan;
- Untuk meningkatkan keterlibatan masyarakat (desentralisasi hukum) atau memberdayakan pihak-pihak yang bersengketa dalam proses penyelesaian sengketa;
- Untuk memperlancar jalur keadilan (acces to justice) di masyarakat;
- Untuk memberikan kesempatan bagi tercapainya penyelesaian sengketa yang menghasilkan keputusan yang dapat diterima oleh semua pihak sehingga para pihak tidak menempuh upaya banding dan kasasi;
- Penyelesaian perkara lebih cepat dan biaya murah;
- Bersifat tertutup/rahasia (confidential);
- Lebih tinggi tingkat kemungkinan untuk melaksanakan kesepakatan, sehingga hubungan pihak-pihak bersengketa di masa depan masih dimungkinkan terjalin dengan baik;
- Mengurangi merebaknya “permainan kotor” dalam pengadilan
Perkara pidana yang di selesaikan melalui mediasi disebut juga sebagai mediasi penal. Mediasi penal sendiri dapat diartikan sebagai penyelesaian perkara pidana lewat dipertemukannya pihak korban dengan pelaku tindak pidana untuk menyelesaikan masalahnya dengan cara membuat kesepakatan diantara para pihak ( win-win solution ).
Penyelesaian secara non litigasi dalam hukum acara pidana mengenal adanya mediasi penal yang berbeda dengan mediasi pada hukum perdata. Beberapa kategorisasi sebagai tolok ukur dan ruang lingkup terhadap perkara yang dapat diselesaikan di luar pengadilan melalui Mediasi Penal adalah sebagai berikut:
- Pelanggaran hukum pidana tersebut memiliki pidana denda sebagai ancaman pidana dan pelanggar telah membayar denda tersebut (Pasal 80 KUHP).
- Pelanggaran hukum pidana tersebut termasuk kategori “pelanggaran”, bukan “kejahatan”, yang hanya diancam dengan pidana denda.
- Pelanggaran hukum pidana tersebut termasuk tindak pidana di bidang hukum administrasi yang menempatkan sanksi pidana sebagai ultimum remedium.
- Pelanggaran hukum pidana tersebut termasuk kategori ringan/serba ringan dan aparat penegak hukum menggunakan wewenangnya untuk melakukan diskresi.
- Pelanggaran hukum pidana biasa yang dihentikan atau tidak diproses ke pengadilan oleh Jaksa Agung sesuai dengan wewenang hukum yang
- Pelanggaran hukum pidana tersebut termasuk kategori pelanggaran hukum pidana adat yang diselesaikan melalui lembaga adat.
Melihat salah satu upaya penerapan keadilan restoratif yang dapat dilakukan oleh aparat hukum yaitu kepolisian dalam memaksimalkan penyelesaian dengan menggunakan mekanisme mediasi Penal.
Perbedaan Mediasi Perdata dan Mediasi Penal:
- Mediasi perdata fokus terhadap permasalahan dan kesepakatan sedangkan mediasi penal fokus terhadap dialog dan hubungan
- peran mediator pada mediasi perdata adalah mengarahkan dan membimbing para pihak untuk mencapai kesepakatan yang memuaskan sedangkan mediasi pidana yaitu menyiapkan korban dan pelaku agar mempunyai harapan yang realistis dan merasa cukup aman untuk berdialog secara langsung.
Penerapan model mediasi penal sebagai bagian proses sistem peradilan pidana (SPP), dapat dilakukan sebagai berikut:
- Mediasi penal pada tahap penyidikan tindak pidana,
- Mediasi penal pada tahap penuntutan,
- Mediasi penal pada tahap pelaku menjalankan sanksi pidana penjara,
Namun pelaksanaan mediasi penal yang dimulai dari tahapan penyidikan kepolisian memiliki hambatan yang sering menjadi kendala dalam penerapannya. Faktor yang menghambat berjalannya Mediasi Penal melalui pendekatan Restorative Justice sebagai upaya meminimalisir kelebihan hunian (over capacity) yang dimulai dari tahapan penyidikan kepolisian diantaranya adalah:
- Faktor perundang-undangan, yaitu belum adanya undang-undang yang mengatur upaya yang harus dilakukan apabila terjadi penolakan perdamaian oleh korban atau keluarga korban.
- Faktor penegak hukum, yaitu secara kuantitas masih terbatasnya jumlah anggota dalam menangani tindak pidana dan secara kualitas masih kurangnya pengetahuan dan keterampilan penyidik dalam menerapkan perdamaian dalam penyelesaian tindak pidana.
- Faktor masyarakat, khususnya korban dan keluarga korban menolak perdamaian dan menginginkan agar pelaku tindak pidana sebagai pelaku tindak pidana tetap diproses secara hukum.
Konsep restorative justice belum memiliki payung hukum yang kuat dalam peraturan perundang-undangan karena penjatuhan sanksi dalam hukum acara pidana terdiri atas restitusi, mediasi pelaku dan korban, pelayanan korban, restorasi masyarakat, pelayanan langsung pada korban, denda restoratif. Semua itu tersirat dalam kewenangan polisi sebagai penegak hukum dalam menentukan suatu penyelesaian perkara pidana di tahap awal karena selama ini sanksi yang diberikan bersifat retributif yang mana tidak juga membuat jera si pelaku pidana.
Untuk dapat mewujudkan restorative justice para aparat hukum harus melihat penerapan ketentuan peraturan secara progresif bukan normatif. Selama ini karena hal tersebut tidak menunjukan adanya kemajuan dalam perkembangan hukum acara pidana yang ada. Dapat kita lihat Lapas semakin penuh di saat sudah tidak bisa menampung lagi yang menyebabkan masalah baru kembali.
Pada sisi lain, keadilan terasa masih jauh untuk setiap orang serta tidak tercapainya tujuan hukum pidana itu sendiri untuk kedamaian, keamanan, dan kesejahteraan. Oleh karenanya, selama belum ada payung hukum atas wujud restorative justice tersebut dapat digunakan mekanisme mediasi penal dalam menangani perakra-perkara pidana tertentu.
Di saat terbukti negara-negara lain menerapkan restorative justice pada konstitusinya, bangsa Indonesia memegang teguh budaya saling memaafkan sesuai ajaran Pancasila dalam kehidupan sehari-hari sehingga perlulah konsep restorative justice sebagai bagian dari nilai luhur bangsa Indonesia diterapkan dalam RKUHAP.
Dalam hal ini perlu ada peningkatan pendidikan dan pelatihan polisi serta hakim mengenai pentingnya konsep keadilan restoratif terus menerus, agar kedepan melahirkan para penegak hukum yang kritis dan progresif mengikuti perkembangan zaman menggali nilai-nilai di masyarakat yang selalu berkembang dalam menegakkan hukum yang pasti dan adil. Juga, mengedepankan mekanisme mediasi pada tahap penyidikan maupun penjatuhan sanksi pidana oleh hakim yang mengedepankan keadilan restorasi bagi si pelaku.
Hal ini bertujuan agar nantinya dapat menyelesaikan permasalahan lapas yang selalu kelebihan kapasitas serta ketentuan restorative justice dapat diterapkan dalam RKUHAP pada bagian penjelasan untuk penghentian penyidikan dapat dibunyikan adanya mekanisme mediasi penal, dimana terbuka juga peluang untuk perkara-perkara lainnya.
RKUHAP sangat penting untuk untuk mendorong terselenggaranya sistem peradilan pidana yang akuntabel, terbuka, integratif, dan menjamin pemenuhan hak tersangka, terdakwa, saksi, dan korban kejahatan sehingga tercipta keseimbangan perlindungan antar kepentingan, yakni kepentingan negara, kepentingan masyarakat, maupun kepentingan individu termasuk kepentingan pelaku tindak pidana dan korban kejahatan.
Daftar Pustaka
Peraturan Perundang-undangan
Indonesia, Peraturan Mahkamah Agung tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan, Perma No. 1 Tahun 2016, LN No. 175 Tahun 2016
Indonesia, Undang Undang Tentang : Kitab Undang Undang Hukum Acara Pidana, UU No. 8 Tahun 1981. LN No. 76 Tahun 1981 TLN No. 3209