Terciptanya perdagangan bebas memberikan keuntungan serta peran yang besar dalam mendorong pertumbuhan ekonomi suatu negara, khususnya bagi negara-negara berkembang yang memiliki Sumber Daya Alam (SDA) yang melimpah dengan jual-beli hasil produksi (ekspor-impor). Selayaknya sistem perdagangan pada umumnya, di dalam perdagangan internasional juga terdapat hambatan-hambatan yang dapat merugikan satu pihak dan/atau beberapa pihak dalam yang melakukan perdagangan internasional.
Hambatan tersebut dapat berupa hambatan tarif dan/atau hambatan non tarif. Hambatan non tarif dapat berupa diskriminasi-diskriminasi tertentu yang diberlakukan oleh suatu negara tertentu, baik untuk melindungi nilai produksinya maupun untuk mengembangkan kembali produk tersebut menjadi sesuatu yang lebih tinggi lagi nilainya. Keduanya mengerucut pada satu hal, yakni lindung nilai.
Setiap negara di dunia berbondong-bondong menjual kekayaan alamnya dan menjualnya ke negara lain yang membutuhkan pasokan kekayaan alam tersebut dengan cara ekspor maupun impor. Perdagangan internasional kemudian terjadi setelah adanya kesepakatan antara kedua negara dalam transaksi jual beli tersebut.
Sejak perdagangan bebas internasional diberlakukan, seluruh negara di dunia turut berpartisipasi dalam kehidupan ekonomi dunia dengan cara terus meningkatkan produksi untuk pasokan kebutuhan dalam dan luar negeri, agar tetap dapat bersaing secara global. Sebagaimana Indonesia meningkatkan perekonomian dari segi lalu lintas devisa dan pendapatan nasional, mengingat Indonesia merupakan salah satu pemegang ekonomi terbesar di Asia Tenggara.
Pada tahun 2019, Presiden Joko Widodo meminta ekspor minyak sawit mentah atau crude palm oil (CPO) dihentikan dan membuat industri hulu yang dapat menyerap produksi CPO nasional. Hal ini diwujudkan melalui program pemerintah untuk menggabungkan antara minyak nabati dan minyak fosil, melalui program B20, B30, B40, hingga B100 yang bertujuan untuk mengurangi ekspor kelapa sawit mentah guna efisiensi dalam kegiatan ekportir.
Sebagaimana kebijakan ini merupakan dampak adanya sikap Uni Eropa yang membatasi importir CPO yang dianggap tidak ramah lingkungan. Dikeluarkannya kebijakan Renewable Energy Direcyive II (RED II) sebagai hukum yang bersifat Supranasional oleh Parlemen Uni Eropa merupakan bentuk perhatian besar terhadap energi keberlanjutan, karena permasalahan serius yang mengakibatkan terjadinya perubahan iklim dan global warming di berbagai negara.
Implementasi kebijakan ini dapat dianggap memunculkan diskriminasi berupa hambatan-hambatan dagang yang tidak perlu bagi perdagangan internasional terutama bagi perdagangan biofuel berbasis CPO dari negara penghasil sawit khususnya Indonesia.
Namun, kebijakan RED II sebagai bentuk perhatian Uni Eropa terhadap energi terbarukan dalam mencegah permasalahan serius yang mengakibatkan perubahan iklim dan global warming menimbulkan diskriminasi berupa hambatan-hambatan dagang yang diindikasikan melanggar prinsip-prinsip fundamental General Agreement of Tariff and Trade (GATT) yaitu prinsip Most Favourable Nation dan National Treatment yang diatur dalam Technical Barrier to Trade (TBT) Agreement yang menjadi perjanjian turunan dari Piagam WTO.
Kemudian muncul sebuah pertanyaan, bagaimana kesiapan Indonesia sebagai Eksportir Kelapa Sawit atas Kebijakan Uni Eropa yaitu Renewable Energy Directive II (RED II)?
Renewable Energy Directive II (RED II)
Kebijakan ini ditetapkan dari latar belakang kondisi Uni Eropa yang bergantung pada sumber energi bahan bakar fosil. Awalnya, Dewan Eropa di Gӧteborg pada tahun 2001 merumuskan Sustainable Development Strategy (SDS) Uni Eropa yang pertama.
Bagi Uni Eropa, kebijakan RED II bertujuan untuk meningkatkan ketahanan energi, mengurangi tingkat emisi gas, dan melakukan perubahan terkait penggunaan bahan bakar fosil menjadi dalam bentuk EBT. Hal ini bertujuan untuk mengurangi emisi gas karbon sebesar 20% dan mengurangi ketergantungan impor energi selain itu tujuannya adalah agar energi yang di produksi dari dalam negeri dapat lebih digunakan. Kebijakan ini berisi penyebutan dan penganjuran terkait penggunaan Energi Baru Terbarukan (EBT) di Uni Eropa.
Selain EBT, salah satu bahan bakar yang juga diarahkan pemakaiannya oleh Uni Eropa di dalam kebijakan Directive ini adalah bahan bakar nabati guna berkaitan dengan pelestarian lingkungan. Namun tetap memenuhi standar keamanan lingkungan yang diterapkan oleh Uni Eropa. Untuk itu, terdapat beberapa standar kriteria yang telah disebutkan diatas dan harus dipenuhi oleh produk impor juga dalam kasus ini produk CPO Indonesia agar dapat diterima sesuai hukum dan aturan yang berlaku di Eropa.
General Agreement of Tariff and Trade 1947 (GATT)
Kebijakan ini dibuat oleh World Trade Organization (WTO) yang merupakan organisasi perdagangan dunia untuk mengatur dan memfasilitasi perdagangan internasional. GATT merupakan perjanjian perdagangan multilateral dengan tujuan menciptakan perdagangan bebas, adil, dan membantu menciptakan pertumbuhan ekonomi dan pembangunan guna mewujudkan kesejahteraan umat manusia.
Adapun beberapa prinsip umum yang diberlakukan dalam sistem GATT di antaranya:
1) Most Favoured Nation atau Non diskriminasi;