Mahkamah Konstitusi (MK) telah mengeluarkan Putusan yang terkait dengan pelaksanaan hak dan pemenuhan kewajiban perpajakan Wajib Pajak. Dalam Putusan MK Nomor 63/PUU-XV/2017, MK melakukan uji konstitusionalitas dari ketentuan Pasal 32 ayat (3a) UU KUP mengenai Kuasa Wajib Pajak. UU KUP hanya sebatas mengatur syarat umum dari seorang kuasa Wajib Pajak (WP), yaitu memahami masalah perpajakan. UU ini tidak mengatur secara mendalam tentang kriteria, standart dan bagaimana kriteria seorang kuasa wajib pajak dalam menjalankan hak dan kewajibannya dalam wajib pajak.
Menurut Mahkamah Konstitusi, terdapat contradiction in terminis dari penjelasan Pemerintah dan DPR, terutama dengan memposisikan pengaturan terkait persyaratan serta hak dan kewajiban kuasa sebagai hal yang bersifat teknis administratif, sehingga pengaturannya didelegasikan kepada Menteri. Apabila pengaturan tentang persyaratan serta pelaksanaan hak dan kewajiban Kuasa wajib pajak merupakan bentuk perlindungan terhadap kepentingan WP, semestinya materi pengaturannya tidak diserahkan kepada Peraturan Menteri. Sebab, Menteri sebagai pelaksana Undang undang, di dalam praktik sangat mungkin berhadapan dengan WP dan atau kuasa wajib pajak.
Atas dasar tersebut, bagaimana mungkin kepentingan WP akan dapat terlindungi bilamana kuasa wajib pajak diatur dan dibatasi melalui Peraturan Menteri yang tidak menjamin pelaksanaan hak dan kewajiban penerima kuasa wajib pajak secara bebas dan mandiri. Undang undang harus mengatur secara jelas mengenai persyaratan bagi orang yang akan bertindak sebagai kuasa wajib pajak, baik syarat administratif maupun syarat kompetensi. Pada saat yang sama, Undang undang juga harus mengatur dan menjamin bahwa kuasa wajib pajak harus dapat menjalankan hak dan kewajibannya secara mandiri dan bebas.
Dari putusan MK ini dapat digaris bawahi bahwa seseorang yang memahami masalah perpajakan dapat menjadi kuasa wajib pajak. Sikap pemerintah yang membatasi bahwa pihak yang benar-benar kompeten di bidang perpajakan adalah konsultan pajak dan karyawan WP tentu tidak dibenarkan.
Aturan persyaratan tentang kuasa wajib pajak dalam PMK-229/2014 menjelaskan bahwa seseorang yang diperbolehkan menjadi kuasa adalah konsultan pajak dan karyawan wajib pajak dengan persyaratan tertentu. Namun demikian, dengan putusan MK tersebut, secara substantif seseorang yang berhak menjadi kuasa apabila ia telah memenuhi syarat umum atau syarat subtantif dalam UU KUP, yaitu memahami masalah perpajakan.
Selain itu, ukuran yang umum diterima oleh masyarakat mengenai seseorang yang dinilai memahami mengenai perpajakan ialah orang tersebut telah menempuh pendidikan tinggi di bidang perpajakan. Kemudian, Seseorang yang memiliki keahlian pajak karena menempuh pendidikan tinggi di bidang perpajakan patut dianggap sudah mengikuti standar kompetensi di bidang pendidikan perpajakan dan telah melewati berbagai eksaminasi selama menempuh proses pendidikan di Perguruan Tinggi.
Perlu untuk dicatat bahwa putusan Mahkamah Konstitusi ini berlaku secara umum dan mengikat, sehingga memberikan hak kepada siapapun yang memiliki kemampuan memahami masalah perpajakan, termasuk masyarakat yang bukan merupakan anggota dari organisasi profesi tertentu dapat menjadi kuasa wajib pajak.
Karenanya, perlu revisi PMK-229/2014 agar menyesuaikan dengan perintah Mahkamah Konstitusi dalam putusannya. Revisi PMK-229/2014 itu ditujukan untuk pengaturan hal-hal yang bersifat teknis administratif semata yang tidak memberi batas hak konstitusional warga negara dan bukan pembatasan dan/atau perluasan hak dan kewajiban.
Hal-hal yang bersifat teknis administratif tersebut, contohnya dengan mensyaratkan penerima kuasa untuk :
(1) menunjukkan atau menyerahkan salinan ijazah pendidikan formal dalam bidang perpajakan;
(2) sertifikat brevet pajak;
(3) izin konsultan pajak, dan atau;
(4) izin kuasa hukum pajak, selama penerima kuasa bertindak sebagai kuasa wajib pajak.
Tentu merupakan hal yang penting untuk memeriksa dengan cermat dampak dari perubahan legislatif yang konstan pada penduduk dan pihak berwenang, yaitu apakah penduduk dan pihak berwenang dapat mengikuti perubahan dan apakah ada cukup waktu untuk menyesuaikan dan memahami sepenuhnya. Para pembayar pajak menganggap perubahan yang sering terjadi itu disambut baik, seperti yang mereka lakukan tidak memungkinkan berfungsinya sistem pajak secara penuh, koheren dan transparan sebagai semua.
Situasi sistem perpajakan tentu tidak menggembirakan bagi pembangunan ekonomi dan sosial dan untuk transisi dari pemerintahan negara diutamakan oleh supremasi hukum untuk negara sosial. Peraturan perpajakan seharusnya tidak berubah banyak dalam waktu singkat. Hal ini penting untuk memastikan bahwa pembayar pajak mengetahuinya hak dan kewajiban. Pihak berwenang berusaha untuk meminimalkan kekurangan dan membawa sistem pajak lebih dekat dengan penerima hukum dan pelaksananya.
Sudah menjadi tugas kita sebagai generasi pemegang tongkat estafet kemajuan bangsa untuk patuh membayar pajak demi kemajuan bangsa, ingat pajak adalah kita.