Globalisasi telah menjadi pendorong lahirnya era perkembangan teknologi informasi di seluruh dunia. Tidak hanya negara maju, negara berkembang juga telah memacu perkembangan teknologi informasi dalam kehidupan masyarakatnya untuk dapat bersaing di era globalisasai, sehingga teknologi informasi mendapat kedudukan yang penting bagi sebuah kemajuan bangsa. Teknologi informasi memegang peran penting, baik di masa kini maupun di masa mendatang seiring dengan perkembangan kebutuhan masyarakat di dunia.
Perkembangan yang pesat dalam teknologi informasi dapat menyebabkan kejahatan baru di bidang itu juga, salah satunya doxing. Doxing merupakan proses pengambilan, hacking dan penerbitan informasi orang lain seperti nama, foto, alamat, nomor telepon dan rincian kartu kredit yang dapat mengganggu privasi dan membahayakan seseorang. Informasi tersebut berhubungan dengan seseorang, sehingga dapat digunakan untuk mengidentifikasi orang tersebut, yaitu pemilik data yang informasinya bisa dirilis ke ruang publik dengan tujuan negatif dan merugikan.
Tindakan doxing sebagai kejahatan?
Ada berbagai cara yang telah dikembangkan untuk melakukan doxing, namun salah satu metode yang paling umum dan banyak digunakan yaitu dengan menemukan E-mail korban. E-mail memiliki peran penting yang dapat menjadi awalan sebagai kata kunci dan membuka akun korban untuk mendapatkan lebih banyak informasi pribadi dari pemilik data. Saat ini sedang marak terjadi penyalahgunaan dari data seseorang yang diperjual belikan ataupun disalah gunakan demi keuntungan pribadi yang membahayakan korban atau pemilik data.
Perlindungan data juga berhubungan dengan konsep hak atas privasi. Privasi merupakan hal yang sangat penting dan krusial karena pada dasarnya seseorang pasti memiliki sisi diri yang tidak ingin diketahui orang lain untuk melindungi rahasia dirinya. Karena keinginan untuk meindungi privasi itu bersifat universal dan berlaku bagi setiap orang sesuai dengan konsep hak asasi manusia.
Doxing mengganggu hak atas privasi yang dimiliki setiap individu. Hak atas privasi sebagai hak asasi manusia dijelaskan bahwa perlindungan terhadap hak-hak pribadi atau hak-hak privat yang akan meningkatkan nilai-nilai kemanusiaan, meningkatkan hubungan antara individu dan masyarakatnya, meningkatkan kemandirian atau otonomi untuk melakukan kontrol dan mendapatkan kepantasan, serta meningkatkan toleransi dan menjauhkan dari perlakuan diskriminasi serta membatasi kekuasaan pemerintah (Danrivanto Budhijanto, 2010:4). Hak atas privasi memang tidak dicantumkan secara eksplisit di dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Namun, secara implisit hak atas privasi terkandung di dalam Pasal 28G ayat (1) UUD NRI 1945 yaitu sebagai berikut:
“Setiap orang berhak atas perlindungan diri pribadi, keluarga, kehormatan, martabat dan harta benda yang di bawah kekuasaannya, serta berhak atas rasa aman dan perlindungan dari ancaman ketakutan untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu yang merupakan hak asasi”.
Rumusan Pasal 28G ayat (1) UUD NRI Tahun 1945 tersebut memiliki nuansa perlindungan yang sama dengan rumusan Article 12 UDHR yang kemudian diadopsi ke dalam Article 17 ICCPR yang secara eksplisit memberikan jaminan terhadap hak atas privasi. Dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 50/PUU-VI/2008 tentang Perkara Pengujian Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik, Mahkamah Konstitusi memberikan terjemahan atas Article 12 UDHR dan Article 17 ICCPR. Dalam terjemahan tersebut, kata “privacy” diterjemahkan sebagai “urusan pribadi atau masalah pribadi” sebagaimana yang tertera dalam Pasal 28G UUD NRI 1945 sebagai berikut: