Hak asasi manusia (HAM) memiliki kedudukan yang sangat penting dalam kehidupan. HAM seringkali diartikan sebagai hak-hak dasar yang ada pada setiap manusia sejak ia lahir bukan karena pemberian masyarakat maupun hukum positif, melainkan karena posisinya sebagai manusia. Salah satu bentuk HAM adalah kemerdekaan dan kebebasan. Setiap individu berhak atas kemerdekaan dan kebebasan atas dirinya. Kemerdekaan dan kebebasan menjadi sebuah konsekuensi dari kedudukan sebagai manusia yang melekat pada setiap individu.
Semua pihak setuju untuk menegakkan HAM, karena itu merupakan salah satu hak dasar yang sudah sepatutnya dimiliki setiap manusia. Negara-negara barat mendefinisikan HAM sebagai hak-hak alamiah yang telah melekat pada diri manusia sejak kehadirannya.
Adapun pihak yang berpedoman pada ajaran agama Islam menyatakan bahwa hak asasi merupakan pemberian Tuhan yang dengan itu manusia diperintahkan untuk memakmurkan kehidupan di bumi. Salah satu bentuk memakmurkan kehidupan di bumi adalah memperlakukan manusia sebagaimana mestinya. Namun, muncul permasalahan mengenai konsistensi ajaran Agama Islam dalam mengakui adanya HAM, karena di dalam ajarannya masih melegalkan perbudakan.
Perbudakan ini tentu mencabut hak kebebasan dan kemerdekaan seseorang yang merupakan salah satu bentuk HAM. Negara barat dahulu juga mempraktekkan perbudakan. Namun, kemudian perbudakan dilarang untuk dipraktekkan, karena hal tersebut bertentangan dengan HAM dan kemudian ditegaskan salah satunya dengan Universal Declaration of Human Rights.
Pelarangan perbudakan ini juga merupakan implementasi dan tindak lanjut dari konsep HAM yang dipahami oleh negara-negara barat. Pelarangan perbudakan juga sejalan dengan semangat Pancasila dalam memanusiakan manusia
Perbudakan dalam Perspektif HAM Barat dan HAM Islam
Perbudakan bukan sesuatu yang asing di telinga masyarakat global. Hal ini disebabkan karena praktik perbudakan telah berlangsung cukup lama dalam peradaban manusia. Saat Fir’aun Ramses II berkuasa selama 1290-1224 di Mesir, ia sering melakukan penaklukan dan dibarengi dengan praktik perbudakan sebagai upaya ekspansi kekuasaannya di Libanon, Suriah, dan Yarussalem. Begitupun Bangsa Romawi juga gemar melakukan perbudakan. Hal tersebut salah satunya ditunjukkan pada saat Romawi mengakuisisi Yunani pada tahun 146 SM atau juga dikenal sebagai zaman perbudakan.