Setelah pengesahan Undang Nomor 03 Tahun 2022 Tentang Ibu Kota Negara (IKN), pro dan kontra muncul. Pemindahan Ibu Kota dinilai kurang tepat dengan kondisi Indonesia saat ini. Pada sisi lain, banyak yang menilai pemindahan harus segera dilaksanakan mengingat potensi kekacauan yang akan terjadi di Jakarta bilamana tidak diantisipasi dari sekarang. Potensi kekacauan ini seperti masalah padatnya populasi yang bisa menimbulkan krisis air bersih, ancaman bahaya banjir, potensi gempa bumi, bahkan tsunami, hingga permukaan tanah di Jakarta yang terus menurun tiap tahun.
Jika ditelaah kembali, pasal-pasal UU IKN yang telah dilakukan revisi oleh pemerintah sangat terkesan terburu-buru. Terbukti, masih banyak pasal yang bertentangan dengan UUD 1945. Contohnya, ada pada Pasal 4 ayat (1) huruf b UU IKN yang menyebutkan, “Otorita Ibu Kota Nusantara sebagai lembaga setingkat kementrian yang menyelenggarakan Pemerintah Daerah Khusus Ibu Kota Nusantara.” Pasal 8 UU IKN menyebutkan, “Penyelenggara Pemerintah Daerah Khusus Ibu Kota Nusantara adalah Ibu Kota Nusantara,” yang bertentangan dengan Pasal 18 ayat (4) UUD 1945 yang menentukan bahwa gubernur, bupati, dan walikota masing-masing sebagai kepala pemerintah dan provinsi, kabupaten, dan kota dipilih secara demokratis. Artinya, terdapat pertentangan norma yang melandasi IKN mengenai konteks penyelenggaraan pemerintah provinsi, kabupaten/kota. Merujuk UUD 1945, tidak ada satupun pasal yang memberikan otoritas kepada lembaga yang bernama otorita untuk menyelenggarakan pemerintahan daerah. Pasal 4 ayat (1) huruf b UU IKN ini juga bertentangan dengan strata pemerintahan karena menempatkan pemerintahan daerah (dalam hal ini Provinsi IKN) setingkat dengan kementerian.