Energi menjadi kebutuhan tak terelakkan bagi kehidupan manusia saat ini. Tak terkecuali bagi Indonesia, negara yang kaya potensi energi, terbarukan (renewable energy) maupun tak terbarukan (non-renewable energy). Untuk memenuhi ketahanan dan kestabilan energi di Indonesia, nyatanya Indonesia masih bergantung pada energi yang tak terbarukan seperti minyak bumi, batu bara, dan gas alam. Padahal, potensi energi terbarukan di Indonesia terbilang sangat besar.
Terletak di sepanjang garis khatulistiwa, Indonesia memiliki potensi energi terbarukan matahari atau surya mencapai 207,8 gigawatt GW. Kementerian ESDM RI Tahun 2021 melansir besaran potensi energi terbarukan di Indonesia yang mencapai angka 417,8 GW. Potensi energi terbarukan lainnya yakni berupa air sebesar 75 GW, angin 60,6 GW, bioenergi 32,6 GW, panas bumi 23,9 GW, serta arus laut samudera sebesar 17,9 GW.
Sayangnya, berbagai potensi ini belum dimanfaatkan secara optimal. Pada perspektif permintaan saja masyarakat Indonesia masih lebih nyaman mempergunakan bahan bakar minyak (BBM) yang diolah dari minyak mentah. Konsekuensinya, permintaan yang minim ini kerap kali terabaikan investor.
Konsumsi energi merupakan tak dapat terpisahkan dalam pembangunan ekonomi negara. Indonesia masih bertumpu pada permintaan bahan bakar fosil, sehingga konsumsi BBM secara nasional terbilang tinggi. Konsumsi ini akan kian meningkat, mengingat pertambahan penduduk ditambah dengan mobilitas dan produktivitas yang banyak menggunakan bahan bakar.
Konsumsi dan ketergantungan ini tak hanya berdampak lingkungan, tetapi juga berpotensi menimbulkan kelangkaan dan habisnya sumber daya. Alhasil, lagi-lagi Indonesia harus mengimpor minyak. Oleh karena itu, konsumsi dan ketergantungan terhadap energi tak terbarukan ini sebetulnya mengancam ketahanan energi dan perekonomian Indonesia.
Pada saat yang sama, pandemi COVID-19 sejak awal 2020 telah menimbulkan permasalahan ekonomi. Sejak Pemerintah menyatakan COVID-19 telah masuk dan menyebar di Indonesia, berbagai kebijakan dikeluarkan untuk menekan tingkat penyebaran COVID-19. Kebijakan tersebut mulai dari Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB), Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) Mikro hingga pembatasan yang bersifat darurat.
Semua kebijakan untuk mencegah penyebaran COVID-19 berakibat pada disrupsi ekonomi. Usaha pemenuhan terhadap kebutuhan ekonomi oleh berbagai kalangan masyarakat menjadi sangat sulit dan terhambat, bahkan berhenti total. Triwulan pertama 2021 terhadap triwulan pertama 2020 menunjukkan pertumbuhan ekonomi Indonesia masih mengalami kontraksi minus 0.74%. Angka tersebut menunjukkan bahwa pertumbuhan ekonomi Indonesia hingga saat ini belum kembali ke angka positif sejak kuartal kedua di 2020.