Nihilnya pengakuan terhadap tanah ulayat ini berdampak pada proses pendaftaran tanah adat. Menurut Sembiring (2018), penciutan tanah adat terjadi melalui mekanisme pelepasan hak sehingga status tanah adat tersebut berubah menjadi tanah negara. Melalui pendaftaran tanah adat, baik komunal maupun individual, tanah berubah menjadi tanah hak.
Mekanisme pendaftaran terhadap semua bidang tanah di NTT ialah melalui pemberian hak. Pemberian hak merupakan lembaga pendaftaran tanah bagi bidang-bidang tanah yang berasal dari tanah negara. Artinya, seluruh tanah di NTT merupakan tanah negara. Setidaknya demikianlah praktik yang terjadi di lapangan. Meskipun faktanya, tanah yang akan diberikah hak atas tanah semula berasal dari tanah adat. Prosedur pelepasan hak adat (ulayat) dalam individualisasi hak sejatinya hanyalah suatu formalitas.
Di satu sisi, prosedur tersebut menjadi satu-satunya alternatif. Sebab, prosedur lain seperti lembaga pengakuan hak tidak memungkinkan untuk dilakukan karena tidak ada alat bukti kepemilikan adat yang dapat menjadi alas hak. Apabila merunut lebih jauh, alat bukti kepemilikan tanah adat tidak mungkin terbit dengan kondisi di NTT yang tidak pernah dilakukan pengadministrasian tanah adat.
Bagaimana mungkin dilakukan pengadministrasian tanah adat jika pengakuan terhadap MHA tidak pernah dilakukan? Bagaimanapun, jika mencari-cari alasan dari kejadian yang timbul, akan kembali pada persoalan awal yakni pengakuan terhadap MHA dan tanah milik MHA tersebut. Di sisi lain, ketiadaan alternatif selain lembaga pemberian hak menguatkan bagaimana posisi tanah adat dan MHA di mata negara.