Di NTT, tampaknya pemerintah mengambil langkah terlalui cepat terhadap lemahnya eksistensi masyarakat hukum adat (MHA). Pemerintah tidak menerbitkan peraturan daerah apapun sebagai bentuk pengakuan terhadap MHA. Akibatnya, konflik atas tanah adat (ulayat) milik MHA terus terjadi.
Nihilnya upaya Pemerintah Daerah NTT untuk menengahi persoalan tanah ulayat ini menimbulkan pertanyaan terhadap nasib MHA dan terjadi kekosongan hukum, jika terdapat konflik tanah adat. Atau, mungkinkah pemerintah menilai tanah adat tidak lagi ada di NTT sedangkan konflik atasnya terus terjadi?
Menurut Nome, telah terjadi upaya penghancuran struktur kesatuan MHA melalui UU 16/1965 jo. UU 5/1974 jo. UU 5/1979. UU tersebut berkaitan dengan pembentukan daerah swatantra, pemerintahan daerah, dan pemerintahan desa. Melalui UU tersebut, kesatuan MHA di NTT yang diakui oleh Pasal 18 UUD 1945 dengan nama Zelfbesturende Landschappen dan Volksgemeenschappen harus rela bersalin rupa menjadi provinsi, kabupaten/kota, kecamatan, dan desa/kelurahan.
Jika mendasarkan pemahaman hanya pada pendapat ini, upaya penghancuran KMHA seperti yang diistilahkan oleh Nome tidak hanya terjadi di NTT tetapi di seluruh wilayah Indonesia.
Status tanah adat sebagai bagian tak terpisah dari MHA. Dengan sendirinya juga ikut menerima dampak dari tidak adanya pengakuan atas MHA. Peraturan Daerah NTT Nomor 8 Tahun 1974 tentang Pelaksanaan Penegasan Hak Atas Tanah menentukan bahwa tanah bekas penguasaan MHA dikuasai oleh pemerintah daerah.