Salah satu praktek keadilan restoratif di Indonesia saat ini adalah pemisahan pemidanaan antara pelaku kejahatan dewasa dan pelaku kejahatan anak. Mengapa restoratif justice menganggap pelaku anak yang melakukan kejahatan harus dilakukan pemisahan pemidanaan dengan orang dewasa? Tujuannya adalah agar anak tidak disatukan dengan pelaku tindak pidana dewasa sehingga kemungkinan anak terpengaruh menjadi berkurang drastis. Disamping itu pemisahan ini memungkinkan pelaku anak mendapatkan program pendidikan, pembinaan dan pembimbingan yang sesuai dengan umur anak.
Dalam semangat restoratif tersebut dirancanglah sebuah sistem yang mengatur pemisahan ini oleh Pemerintah. Kemudian lahirlah Undang – undang No 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak atau disingkat SPPA yang berisi regulasi dan pola pemidanaan terhadap anak, yang berbeda dengan orang dewasa pada umumnya. Undang – undang ini menjelaskan definisi Anak yang Berkonflik dengan Hukum yakni yang telah berusia 12 sampai 18 tahun yang diduga melakukan tindak pidana.
Bagaimana dengan anak yang belum berumur 12 tahun yang melakukan tindak pidana? Dalam Undang – Undang SPPA anak yang belum berusia 12 belas tahun tidak dapat diajukan ke sidang anak didasarkan pada pertimbangan sosiologis, psikologis, dan pedagogis bahwa anak yang belum mencapai umur 12 (dua belas) tahun dianggap belum dapat mempertanggungjawabkan perbuatannya. Jadi secara umum setiap anak dalam batasan umur diatas yang melakukan tindak pidana, akan diberi perlakuan khusus dan dibedakan proses hukum yang dijalaninya.
Perbedaan yang paling mendasar dalam memutus perkara anak di Indonesia saat ini adalah dengan adanya proses Diversi. Diversi adalah pengalihan penyelesaian perkara anak dari proses peradilan pidana di luar proses peradilan pidana. Proses ini wajib dilaksanakan oleh penegak hukum ketika berhadapan dengan perkara tindak pidana yang dilakukan oleh anak dibawah umur, dengan mengacu pada ketentuan dalam UU SPPA. Selain itu anak pelaku maupun anak korban tindak pidana akan mendapat pendampingan selama proses hukum berlangsung.
Pendampingan tersebut dilakukan oleh Pembimbing Kemasyarakatan untuk anak pelaku dan Pekerja Sosial untuk anak korban. Pendampingan ini bukan dimaksudkan membela salah satu pihak, melainkan untuk menjamin hak – hak anak dalam proses hukum yang sedang dihadapinya tetap terpenuhi. Pun pada hukuman yang diberikan kepada anak bervariasi pula.