Selanjutnya, pengawasan oleh Dewan Etik bersifat pasif. Pasal 21 ayat (1) huruf A Peraturan MK Nomor 2 Tahun 2014 tentang Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi menyatakan, “Dewan etik melakukan pengumpulan, pengelolaan, dan penelaahan laporan atau informasi tentang dugaan pelanggaran yang dilakukan oleh Hakim Konstitusi”. Pasal ini menegaskan bahwa Dewan Etik hanya melakukan tugas apabila terdapat laporan atau informasi dugaan pelanggaran oleh hakim konstitusi. Hal yang sama terjadi pada Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi (MKMK) yang dibentuk untuk mengadili dugaan pelanggaran hakim konstitusi hanya ketika terdapat suatu pelanggaran berat. Sifat dari MKMK ini tidak tetap atau ad hoc.
Dengan berbagai kelemahan pengawasan secara internal baik pada MA maupun MK, pengawasan eksternal yang independen dan memiliki kewenangan yang kuat semakin penting. Pengadilan sebagai lembaga yang memberikan keadilan bagi masyarakat melalui hakim harus bersifat bebas dan tidak memihak. Selain itu, pengawasan menjadi salah satu komponen penting dalam mewujudkan integritas kekuasaan kehakiman. Lemahnya pengawasan menjadikan hakim rentan disisipi berbagai kepentingan lain. Kasus praktik korupsi judicial review UU Peternakan dan Kesehatan Hewan yang melibatkan hakim Patrialis Akbar serta berbagai kasus lainnya menjadi bukti nyata bahwa pengadilan sebagai tempat mencari keadilan rentan disisipi berbagai kepentingan.
Perluasan dan Penguatan Kewenangan Komisi Yudisial
KY perlu memiliki kewenangan yang lebih luas untuk mengawasi perilaku dan etik hakim. Perlu ada garis merah yang jelas antara kewenangan pengawasan oleh MA dan KY. Kedua lembaga tersebut acapkali bersinggungan dan berseberangan dalam hal tafsiran terkait pelanggaran yang dilakukan oleh hakim apakah termasuk kedalam ranah pelanggaran dalam lingkup teknis yudisial atau dalam lingkup pelanggaran kode etik dan perilaku hakim.
Penulis menggagas KY memiliki kewenangan dalam mengawasi hakim dan melakukan penjatuhan sanksi bagi hakim. Kewenangan ini akan berada pada ruang lingkup pengawasan perilaku dan kode etik hakim dan tidak berlaku pada hal-hal teknis yudisial. Fokus kewenangan KY mengawasi perilaku hakim ini dimaksudkan agar hakim tetap menjaga independensinya dalam putusan pengadilan. Selain itu, KY juga perlu memiliki kewenangan mengawasi hakim konstitusi karena pengawasan KY berada pada lingkup perilaku dan kode etik hakim.
Apabila nantinya terjadi singgungan kewenangan antara KY dan pengawas internal MK dan MA, hasil pengawasan dan penjatuhan sanksi yang akan berlaku adalah berasal dari KY. Penjatuhan sanksi ini diberikan sepanjang berada pada lingkup pelanggaran perilaku dan kode etik hakim. Selanjutnya, untuk tetap menjamin hak yang dimiliki oleh hakim terhadap pemberian sanksi yang bersifat berat, perlu diadakan forum beracara yang melibatkan hakim dari lembaga terkait. Forum ini bersifat ad hoc yang keanggotaannya berasal dari KY, hakim konstitusi dan hakim agung. Apabila hakim terbukti melakukan pelanggaran kode etik berat, KY wajib memberitahukan hasil akhir yang berasal dari forum tersebut kepada Presiden.
Pengalaman di Negara Lain
Pemberian kewenangan yang besar kepada KY sebagai lembaga pengawas eksternal kekuasaan kehakiman telah dilakukan di negara lain, seperti Perancis dan Peru. KY Perancis yang memiliki nama Conseil superieur de la magistrature (CSM) memiliki wewenang pemberian sanksi disipliner terhadap hakim. Sanksi-sanksi ini dapat berupa teguran sampai dengan penarikan hak pensiun. Sanksi yang dijatuhkan oleh CSM adalah bersifat final dan tidak dapat dilakukan banding.