Komisi Yudisial (KY) merupakan lembaga yang berperan penting guna meningkatkan independensi kekuasaan kehakiman. Peran KY Indonesia, yang merupakan Komis Yudisial ke-121 di dunia, sangat krusial karena mempunyai tugas melakukan pengawasan terhadap etik dan perilaku hakim. Namun, KY di Indonesia tidak dilengkapi dengan kewenangan yang memadai karena dalam menjalankan fungsinya hanya sebatas lembaga pemberi rekomendasi kepada MA. Tidak henti sampai di situ, kewenangannya semakin direduksi oleh Putusan MK Nomor 005/PUU-IV/2006. Betapapun pentingnya peran KY, yang apabila tidak diimbangi dengan kewenangan yang kuat tidak akan berarti. Sebaliknya, keadaan ini dapat berimbas terhadap kualitas pengawasan dan penegakan independensi hakim.
Penguatan KY melalui rekonstruksi kelembagaan merupakan sebuah keniscayaan agar kekuasaan kehakiman dapat tetap berjalan secara independen. Karena kewenangan Komisi Yudisial sebagai pengawas eksternal tidak disertai dengan kewenangan yang kuat, diperlukan perluasan dan penguatan kewenangan guna melakukan pengawasan terhadap perilaku dan kode etik hakim, termasuk hakim konstitusi.
Pendapat Pakar
Gagasan ini selaras dengan pendapat Jimly Asshiddiqie. Jimly mengatakan bahwa KY seharusnya bertugas menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, dan perilaku seluruh hakim di Indonesia, termasuk hakim konstitusi. Lebih lanjut, tidak hanya dalam melakukan pengawasan, KY perlu juga memiliki kewenangan memberikan sanksi disiplin terhadap hakim yang melakukan pelanggaran terhadap kode etik. Gagasan ini didasarkan karena alasan konsekuensi logis peran Komisi Yudisial sebagai lembaga yang berfungsi menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, dan perilaku hakim.
Kekuasaan kehakiman, baik dalam lingkup MA maupun MK telah memiliki pengawasan internal dalam badan mereka. Namun, pengawasan internal belum cukup menjamin dan menegakan kekuasaan kehakiman yang berintegritas. Untuk melakukan pengawasan terhadap anggotanya, Mahkamah Agung memiliki cakupan kewenangan yang terlalu banyak dengan adanya pemberlakuan satu atap. Kewenangan tersebut berkaitan dengan pengawasan terhadap pelaksanaan tugas administrasi dan keuangan, penyelenggaraan peradilan pada semua badan peradilan di bawah MA dalam menyelenggarakan kekuasaan kehakiman, serta pengawasan internal atas tingkah laku hakim.
Sama halnya dengan MA, kehadiran Dewan Etik sebagai pengawas internal bagi hakim MK juga belum cukup. Dewan etik merupakan bentukan MK, yang mana para hakim konstitusi memiliki peranan dalam menentukan proses pengangkatan serta cara kerja dari Dewan Etik. Dalam praktiknya, masih belum ada jaminan bahwa Dewan Etik memiliki independensi dalam melakukan pengawasan terhadap hakim konstitusi.