Namun, ada juga yang berpendapat bahwa putusan MK ini harus dilihat dari perspektif hukum dan konstitusi. Berdasarkan ketentuan tersebut, putusan Mahkamah Konstitusi bersifat final dan mengikat. Sifat putusan MK bersifat final artinya putusan segera memperoleh kekuatan hukum pada saat diundangkan dan tidak dapat dilakukan upaya hukum. Sifat final putusan MK juga menimbulkan akibat hukum yang mengikat (final and binding). Menurut Sri Soemantri, putusan akhir harus mengikat dan tidak dapat dibatalkan oleh lembaga manapun. Jika sudah final, putusan harus dipatuhi dan diterapkan secara wajib untuk menjamin kepastian hukum.
Kemudian, dalam menjalankan fungsinya sebagai hakim konstitusi, hakim MK wajib menaati Pedoman Perilaku dan Pedoman Perilaku Hakim Konstitusi sebagaimana diatur dalam Pasal 27B surat nomor 4 UU 8/2011. Apabila seorang hakim konstitusi terbukti melakukan pelanggaran terhadap Kode Etik dan Aturan Etik Profesi Hakim, maka terdapat risiko hukum bahwa ia akan diberhentikan dengan tidak hormat. Oleh karena itu, sekalipun terjadi korupsi di lembaga peradilan, hakim melakukan perbuatan terlarang atau melanggar Kode Etik, bukan berarti putusan MK tidak sah atau salah. Putusan MK selalu dianggap benar dan sah, karena berkaitan dengan asas res judicata dan kekuatan hukum putusan MK. MK telah melakukan interpretasi terhadap undang-undang yang ada, dan putusan ini bersifat mengikat bagi semua pihak. Selain itu, alasan hukum yang mendasari putusan tersebut juga harus diperhatikan.